Terakhir kudapati ia tengah asyik meracau serta bernyanyi riang dalam harmoni nada yang lumayan berantakan. Sementara kami duduk berhadapan, dia pun tangkas melontarkan beberapa lelucon menggelikan diselipi obrolan menyangkut persoalan pelik negara dengan telaah cukup kritis dan tajam.
”Jadi begitulah sobat. Tuak tak serta-merta membikin analisa kita jadi ngawur, bukan? Para pembikin kebijakan itu yang justru sering melakukannya,” tandasnya setelah purna dengan satu bahasan.
Sambil terkekeh menatap gayanya yang sok pahlawan aku merespons dengan mengangkat gelas kosong tinggi-tinggi.
”Akur, akur, wahai Nakae Chomin [1]” Dia terbahak.
Malam terasa makin riang, tak beda jauh dengan suasana hati pengunjung. Raut wajah mereka mulai merah tapi tak mengesankan hati yang membara. Sekumpulan pelanggan di sebuah meja masih bersemangat melantunkan lagu gembira tanpa peduli keruwetan yang tertimbun dalam kepala. Di meja pojok, dua pemikir ulung sedang bersenandung sembari memelototi papan catur di hadapannya.
Di kedai itu kami memang tak pernah menemui senja yang murung dan pendiam. Selalu riuh penuh daya membuat malam seakan tergesa memburu pagi. Beruntung tempat itu agak renggang dari pemukiman hingga tak mengundang gesekan.
Kawasan terminal memang memberi keleluasaan bagi keriuhan macam demikian.
Mendekati fajar satu per satu pengunjung beranjak pergi, menyiapkan rencana masing-masing menyongsong hari. Ada penggiat di organisasi massa, di bisnis transportasi -pengemudi kendaraan umum tepatnya, pedagang, dan banyak profesi lain. Termasuk profesi dari strata yang konon terpandang. Begitulah keistimewaan di sana, jauh dari pemilahan kelas. Dan saat pesta usai, semua kembali pada semangat mengurai kehidupan. Dengan kepala agak pening dan mata berat tentu saja.
Begitulah kami terakhir bertemu sekira tiga minggu yang lalu. Sejujurnya aku selalu jatuh cinta pada benda itu nyaris ke tiap lekukannya. Bentuknya besar, kokoh, merah menyala. Juga pada semangat yang memancar ketika sirene dibunyikan. Semangat hebat yang menjauhkan hal-hal menyangkut kebinasaan, mendekatkan hal-hal tentang merawat kehidupan.
Meski aku tahu setiap kali melesat dari markas boleh jadi itu adalah kesempatan terakhir bertugas bersamanya, namun demikian sungguh tak pernah menyesal mengenal benda tersebut. Tidak pernah. Bagaimana bisa aku menafikan kebahagiaan saat bergelayut di atasnya? Semua kendaraan menepi, memberi ruang bagi kami memecah antrean. Termasuk pula iring-iringan kendaraan yang katanya berisi orang-orang penting. Biasanya mereka tak akan peduli pada urusan pemakai jalan lain. Selalu minta didahulukan meski tidak darurat. Saat kami menderu di jalan seraya membunyikan sirene—dengan menggerutu atau sukarela—pada akhirnya mereka pasti menyisi.
”Kini siapa yang lebih penting?” ujar seorang dari tim kami dengan kesan kemenangan di wajahnya.
Entah kapan persisnya aku jatuh cinta pada pekerjaan ini. Mungkin saat aksi ketiga, atau lebih condong di aksi kelima. Waktu aku putuskan melompat dari lantai tiga sebuah ruko sambil mendekap bocah perempuan. Bila tak segera melompat ke arah pengaman yang direntangkan rekan satu tim di bawah, sepertinya bocah itu tak akan tertolong. Keburu mati lemas akibat terlalu banyak menghirup asap. Waktu itu tim memang gagal menyelamatkan harta pemilik rumah karena api telanjur menyebar. Kami hanya berhasil menjauhkan pasangan muda itu dari kehilangan terbesar mereka; kematian anak perempuan satu-satunya.
Aku sempat bertatapan sejenak dengannya sebelum bocah itu dilarikan ke rumah sakit. Ia tak bersuara walau bibirnya bergetar bagai hendak berkata. Mungkin kondisinya terlalu lemah. Atau karena ia baru melewati satu peristiwa hebat dalam hidupnya. Cuma mata yang berkaca-kaca itu seolah lugas berbahasa. Aku tersenyum mengelus keningnya sebelum ia ditandu ke mobil ambulan. Rasanya kami telah berkomunikasi dengan gamblang meski tanpa mengecer kata-kata.
Ya benar, rupanya sejak itulah aku mulai mencintai pekerjaan sebagai branwir. Satuan pemadam kebakaran yang telah terbentuk dari zaman penjajahan Belanda. Konon dahulu di kota ini pernah terjadi kebakaran hebat. Sebagaimana alasan penjajah ketika membangun sesuatu, mungkin dahulu mereka membentuk satuan ini demi kepentingan mengamankan kantor atau gudang mereka dibanding melayani kepentingan umum macam sekarang.
Anak perempuan itu sebenarnya ikut pula berperan memperbarui tujuanku jadi anggota pemadam kebakaran. Dulu aku melakukannya demi uang. Di markas, selain mendapat gaji aku punya tempat untuk membaringkan badan. Setidaknya lepas dari bayangan kelam hidup di kota besar yang tanpa uang dan menggelandang. Setelah kejadian itu motivasiku sontak berubah. Kupikir pekerjaan ini layak dicintai daripada hanya mengutuk dan mengeluhkan segala sesuatu seperti sikap banyak orang.
Sedangkan dia, karibku, adalah seorang yang termasuk beruntung dari sekian segi. Ia berpendidikan, tak pernah terjepit soal keuangan dan punya cukup alasan untuk hidup tenteram. Saat mengetahui jika profesinya tak jauh denganku, sempat tersirat di kepala, pikiran apa yang membuat orang macam dia memerosokkan dirinya jadi relawan?
Awalnya dia bercerita tentang hasrat tak terelakkan mencintai kegiatan menantang. Semenjak sekolah ia akrab dengan organisasi pencinta alam. Aku percaya hal tersebut. Ia bahkan rela bertugas di hari besar macam Lebaran. Hari yang idealnya dilalui bersama keluarga dan orang tercinta. Lebaran tahun lalu aku bahkan sempat menemaninya blusukan di pantai luar kota. Di masa tersebut peluang kecelakaan lebih besar karena jumlah pengunjung berkali lipat.
Kedai di kompleks terminal yang mempertemukan kami beberapa tahun lalu. Dari sering bertemu kami makin akrab. Sesekali kupinjam setumpuk bukunya sebagai pembunuh sepi jika sedang tak ada tugas. Dari buku-buku tersebut aku makin mengenal dunia, tokoh-tokoh hebat serta kisah-kisah menggetarkan. Dia pernah berkata bahwa pengetahuan itu murah di masa sekarang, budi pekertilah yang mahal.
”Kau bisa dapat banyak pengetahuan di internet, warung pinggir jalan, bahkan di sobekan koran bekas, namun kau mungkin akan semakin sukar menemukan orang yang mempraktikkan budi pekerti untuk dicontoh,” ujarnya suatu ketika.
Sebetulnya aku ingin bilang itu adalah omongan terdahsyat dari seorang sahabat yang kerap mabuk bersama-sama, namun urung diucapkan. Kupikir tiap orang tentu punya masa terang diusap cahaya, sedegil apa pun kelakuannya di masa lalu. Berapa kali aku pernah menemui sosok yang dahulu jadi bromocorah, menjadi momok kegelisahan masyarakat sekitar, namun kemudian hidup lebih mulia. Saat kanak-kanak aku paham dia bajingan karena sempat melihat langsung perbuatannya. Sekian puluh tahun kemudian aku bertemu lagi dengannya dalam raut wajah, perkataan, juga sikap yang jauh berbeda. Kuharap orang itu tetap demikian hingga ajal menjemputnya. Sebab konon, satu hari akan sempurna dinilai ketika mentari memang sudah terbenam.
Malam ini adalah malam terberat yang kulalui di awal tahun. Sambil membersihkan seragam kerja dan menempatkan kembali di tempat semula, aku masih membayangkan kejadian berapa jam lalu. Penghuni rumah, yang masih dibekap kecemasan oleh banjir harus menghadapi kejutan hebat lain: lantai dua tempat mereka berlindung terbakar. Tim tentu tak kesulitan mendapatkan air seperti pada kasus-kasus kebakaran sebelumnya. Air melimpah di mana-mana. Penghuni rumah itu yang jelas-jelas dibebat masalah. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Kutinggalkan markas menuju kedai yang tak begitu jauh letaknya. Berharap suasana di sana mampu mengupas kelelahan. Sahabatku tengah duduk menyepi di antara meja lain yang gemuruh. Wajahnya tertunduk. Mungkin sudah dirasuki mabuk bercampur kantuk. Dia langsung membalakkan mata saat aku duduk di hadapannya. Tersenyum lebih ramah dari biasa namun terlihat agak kuyu.
”Sudah selesai pesan?” tanyaku. Ia kembali tersenyum dan menunjuk ke arah segelas kopi hitam dengan wajah dan sorot matanya tanpa menjawab pertanyaan.
”Tumben,” timpalku.
”Aku lelah, lelah sekali,” ungkapnya.
”Ya aku tahu. Kau pasti letih beberapa hari ini. Tugasmu tentu bertumpuk dari satu lokasi ke lokasi lain di atas perahu karet.”
”Bukan. Bukan itu sebabnya. Kini aku justru semakin mencintai tugasku karena musibah banjir yang bagai hendak menenggelamkan kota ini. Aku cuma lelah terus-menerus lari dari kenyataan dengan cara mabuk hingga pagi. Aku capek membunuh kecewa pada kehidupan rumah tangga yang berantakan, sementara setelah sadar kenangan perih itu kembali menghantui,” dengan lirih dia berkata.
”Kau tahu, di hari-hari sebelum musim ganas ini tiba, setiap aku menolong anak kecil atau seorang perempuan, sebenarnya aku tengah berhalusinasi sedang menyelamatkan anak dan mantan istriku. Menyelamatkan bahtera keluargaku yang karam. Bukankah itu semacam mengerami dusta?” lanjutnya.
”Entahlah. Kau pasti lebih tahu jawabannya dibanding aku.”
Beberapa saat kami saling hening. Ia terdiam dengan pikirannya sendiri, aku pun membisu karena tak ingin membuatnya kurang nyaman.
”Bang, tolong bikinkan aku kopi hitam macam sobatku ini. Malam ini aku ingin menemani dia ngopi,” pintaku pada pemilik kedai.
Pemilik kedai mengangguk. Tersenyum mafhum dan segera membuatkan pesananku. Mungkin pula seraya berpikir jika malam ini adalah malam paling senyap yang pernah dilewati dua sahabat di tempatnya. Ketika mereka hanya saling diam, tenggelam dalam lautan benak masing-masing tanpa saling bertukar kata.
[1] Nakae Chomin adalah seorang filsuf abad sembilan belas, aktivis, dan cendekiawan Jepang. Satu karyanya yang terkenal ialah Sansuijin Keirin Mondo, Perbincangan Tiga Pemabuk Tentang Pemerintahan (Gramedia 1989) Cianjur, 2013.