Sabtu, 03 Mei 2014

Kajian Puisi Al-Farazdaq

A. Pendahuluan 

Bila berbicara tentang kesusastraan pada masa Bani Umaiyah, maka berbagai referensi akan membahas tiga penyair besar masa itu, yaitu al-Farazdaq, Jarirdanal-Akhtal. Ketiganya hidup semasa bahkan terlibat dalam dialog-satiris dalam puisi-puisi hija’ yang terus berlanjut hingga al-Akhtal meninggal di tahun (w. 92 H/ 710 M), al-Farazdaq di tahun 110 H/ 728 M, dan disusul enam bulan kemudian oleh Jarir di tahun yang sama. Para penyair ini, hidup pada zaman yang tepat dan pas untuk mengeksplorasikan kemampuan mereka dalam membuat syi’ir hijja’. Situasi sosial politik masa Bani Umaiyah yang berbeda dengan masa sebelumnya, diduga menjadi faktor pendukung yang baik bagi perkembangan sastra, khususnya bagi penyair ketiga tokoh ini. Dinasti yang berpusat di Dam6askus ini, memberikan keluasan bagi para penyair untuk mengekspresikan talenta sastra dengan munculnya partai-partai politik, mazhab dan sekte, masalah identitas kebangsaan. Namun di balik permasalahan makro tersebut, ketiga penyair memiliki permasalahan mikro, yaitu permasalahan pribadi yang melibatkan ketiganya dalam verbal contest yang tiada berakhir.
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba untuk membahas tentang salah satu dari tiga tokoh penyair terkemuka di zaman Bani Umaiyah tersebut, yaitu al-Farazdaq. Muali dari biografinya, contoh syi’irnya, makna yang terkandung dalam syi’irnya, uslub-uslub balaghoh yang terdapat dalam syi’irnya, dan beberapa permasalahan yang lainnya.

B.     Biografi al-Farazdaq

Nama lengkapnya yaitu Abu Faris Hammam bin Gholib at-Tamimi lahir di Yamamah (Arab Timur), suatu tempat dekat Basroh pada masa akhir pemerintahan Umar bin Khatab. Ia berasal dari sub-suku Mujasyi dari klan Bani Tamim, dibesarkan dari keluarga terdidik dan mulia yang nantinya banyak tergambar dalam puisi-puisinya. al-Farazdaq memiliki talenta berpuisi sejak usia masih kecil. Puisinya dinilai kaya dengan ungkapan-ungkapan indah, diksi terpilih dan unik, dan memiliki kedalaman makna serta cenderung mengikuti gaya puisi Jahiliyah yang murni. al-Farazdaq terkadang bersifat “gila” dan berani, seperti syi’ir dan perseteruannya dengan Jarir (penyair dekat seorang tirani, al-Hajjaj) yang telah menjadi perbincangan selama berabad-abad. Kekayaan kosakata al-Farazdaq membuat kritikus Arab terdahulu berkata, “Jika syi’ir-syi’ir al-Farazdaq tidak ada, sepertiga bahasa arab akan hilang”. Diwan-nya mengandung ribuan sajak, termasuk pujian, sindiran dan rintihan. al-Farazdaq meninggal tahun 110 H di Basroh.

C.     Contoh Puisi Al-Farazdaq dan Kondisi Teksnya

Pada masa Bani Umaiyah, kembalilah sifat fanatisme kesukuan yang terdiri atas berbangga-bangga terhadap nenek moyang dan keturunan mereka. Beberapa pertempuran (saling mengolok-olok) antara suku yang satu dengan yang lainnya kian merajalela, terutama yang terjadi pada penyair terkemuka pada zaman ini, diantaranya Jarir, al-Farazdaq, al-Akhtal, dan lainnya.
Para penyair ini menghasilkan syi’ir-syi’ir yang mengumpulkan antara al-fakhro (الفخر) dan hija’ (الهجاء) yang disebut dengan an-Naqooidh (النقائض).
Syair berikut ini menggambarkan pertikaian antara al-Farazdaq dengan Jarir. Syair ini didahului dengan prolog al-Farazdaq yang membanggakan kaumnya, kemudian baru menyerang Jarir dan sukunya.

إنَّ الذى سَمَكَ السَمَاءَ بَنَى لَنَا#  بَيْتًا دَعَائِمُـهُ أَعَزُ وأَطْـوَلُ
بَيْـتًا بَنَاهُ لَنَا الملِيكُ, ومــــــــــا بَنَى#  حَكَمُ السمَاء فَإِنَّهُ لا يُنْقَلُ
بَيْتًا زُرَارَةُ مُحْتَبٍ بِفِنَائِــــــــهِ#  ومُجَاشِعُ, و أَبُو الفَوارسِ نَهْشَلُ
لا يَحْتَبِى بِفِنَاءِ بَيْتِكَ مِثْلُهُمْ# أَبَدًا إِذَا عُدَّ الْفَعَالُ الأَفْضَلُ
ضَرَبَتْ عَلَيْكَ الْعَنْكَبوتُ بِنَسْجِهَا #    و قَضَى عَليْكَ بِهِ الْكِتَابُ المنزَلُ
و إذا بَذَخْتُ فرايِتَي يَمْشِي بِهَــــــــا #    سُفْيَانُ, أو عُدُسُ الفَعَالِ, و جَنْدَلُ
الأكْثَرُونَ إذَا يُعَدُّ حَصَاهُمُ#    والأكْرَمـونَ إذا يُعَدُّ الأَوَّلُ
إِنَّ الزِحَامَ لِغَيْرِكم, فَتَرقَّبُوا        #    وِرْدَ العَشِيِّ, إليْه يَخْلُو الْمَنْهَلُ
أَحْلامُنَا تَزِنُ الْجِبَالَ زَرَانَةً#    وتَخَالُنَا جِنًا إذا ما نَجْهَلُ
فادْفَعْ بكَفِّكَ إِنْ أردْتَ بنَاءنَا      #    ثَهْلانَ ذا الهَضَبَاتِ هَل يَتَحَلْحَلْ؟

v    المفردات
-        سمك: رفع
-        الدّعائم: الأعمدة التى تقيم البيت و المفرد دعامة
-        أعز: أقوى
-        المليك: اللّه
-        زرارة, مجاشع, نهشل: من أجداد الفرزدق
-        محتب: جالس, و هو من الاحتباء, و هو أن يجمع الرجل بين ظهره و ساقيه بثوب أو غيره
-        الفعال الأفضل: الفعل الحسن
-        ضربت عليك العنكبوت: نسجت أو بنت عليك
-        قضى: حكم
-        بذخت: فخرت
-        سفيان و عدس الفعال و جندل: رجال من قوم الفرزدق
-        يعد حصاهم: يحصى عددهم الأول: أسبق الناس في الكرم
-        الزحام: التزاحم عند ورود الماء
-        لغيرهم: المراد الأقوياء
-        ورد العشي: ورد الماء لقيلا بعد أن ينصرف الناس
-        المنهل: مورد الماء
-        أحلامنا: عقولنا
-        تزن الجبال: تساويها
-        رزانة: ثباتا
-        نجهل: نغصب
-        ثهلان: جبل عظيم بنجد
-        الهضبات: القمم العالية
-        هل يتحلحل: هل يتحرك

D.    Makna dan Maksud dari Syair Al-Farazdaq

1.      Sesungguhnya Allah yang mengangkat langit  dan yang telah memberikan kita kemuliaan lebih kuat dan besar dari segala kemuliaan.
2.      Kemuliaan ini merupakan ciptaan Allah dzat yang mengangkat langit, dan apa-apa yang dibangun oleh Allah tidak akan lemah dan hancur.
3.      Dan di pelataran kemuliaan ini hiduplah nenek moyang yang besar, diantaranya Zararah, Majasyi’, dan Nahsyal.
4.      Tidak ada di kaummu wahai Jarir seperti mereka yang pemberani, dimana kamu bisa berbangga-bangga dengan mereka.
5.      Maka kamu dari rumah yang lemah seperti rumah laba-laba, dimana Allah menjadikannya permisalan dalam kelemahan di dalam firman-Nya.
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka Mengetahui”. (QS: Al-‘Ankabuut: 41).
6.      Jika aku berbangga-bangga wahai Jarir, maka sesungguhnya kami berbangga-bangga dengan nenek moyang yang mulia, seperti Sufyan (سفيان), ‘Udus al-fa’aali (عدس الفعال) dan Jandal (جندل).
7.      Dan mereka adalah orang yang paling banyak bilangannya dan lebih dahulu menuju pada kemuliaan.
8.      Adapun kaummu wahai Jarir, sesungguhnya mereka itu lemah. Dan bukti jika mereka itu lemah adalah ketidaksanggupannya dalam berebut air. Kemudian mereka itu  menunggu hingga malam hari, manusia sudah pergi, dan hingga sumber air sepi dari desakan orang-orang.
9.      Ketika kita berada di dalam masa perdamaian, orang-orang yang memiliki akal yang benar tetap seperti gunung. Akan tetapi, ketika kami dalam peperangan, kami ringan seperti jin dan tak ada seorang pun yang dapat melawan kami.
10.  Dan jika kami begitu, maka kamu tidak akan mampu wahai Jarir, untuk memperoleh kemuliaan seperti kami. Dan apabila kamu berusaha, maka kamu seperti orang yang berusaha menggeser gunung tsahlan dari tempatnya dan ini mustahil.

E.     Catatan (التعليق)

a.       Contoh syi’ir di atas merupakan sebuah naqooidh (النقائض) yang terjadi antara  al-Farazdaq dengan Jarir.  Naqooidh adalah syi’ir yang bercampur di dalamnya antara al-fakhro (الفخر) dan al-hija’ (الهجاء) yang di dalamnya terdapat banyak syarat tentang suku terdahulu di zaman Jahiliyah dan masa depannya di zaman Bani Umaiyah. Maka dari itu, seorang penyair ketika melantunkan sebuah syi’ir mereka, akan dibalas atau dijawab oleh musuhnya dengan sebuah syi’ir yang sama wazannya dan qofiyahnya. Mereka (para penyair) itu saling melawan dan menghancurkan antara yang satu dengan yang lainnya.
b.      Syi’ir di atas mempunyai dua tujuan dasar, yaitu: pertama, al-Farazdaq membangga-banggakan asal keturunannya yang mulia, keberanian kaumnya serta kecerdikan akal mereka. Kedua, al-Farazdaq mengejek Jarir karena kehinaan asalnya dan kerendahan nasabnya.
c.       Pemikiran syi’ir di atas tidak tersusun secara rapi dan juga tidak bagus, karena bertentangan dengan ruh Islam yang melarang berbangga-bangga dengan jumlah dan keturunan, menolak mengejek manusia dan mengolok-olok mereka. Inilah salah satu contoh syi’ir an-naqooidh.
Dengan menerima beberapa aib tadi, maka sebagaian pengkritik berpendapat bahwa syi’ir an-Naqooidh (النقائض) telah memberikan faedah kepada bahasa dan sastra dengan apa-apa yang terkandung di dalamnya dan uslub-uslub yang baru, gambaran yang menajubkan, serta kekayaan bahasa. Sebagaimana mereka berpendapat bahwa di dalamnya terdapat catatan sejarah atas banyaknya kejadian dan adat dari bangsa Arab. Sesungguhnya, syi’ir an-Naqooidh (النقائض) adalah fakta tentang syi’ir yang meluas di zaman Bani Umaiyah, dimana tidak ada yang dapat mengimbanginya di semua zaman peradaban Arab.

F.      Uslub Balaghoh dari Sya’ir Al-Farazdaq

Di bawah ini beberapa uslub balaghoh yang terdapat dalam sya’ir al-Farazdaq di atas, diantaranya adalah:
1)      Kinayah
-        الذى سمك السماء: كناية عن الله سبحانه و تعالى
-        دعائمه أعز و أطول: كناية عن العلو و الرفعة
-        إن الزحام لغيركم: كناية عن ضعف قوم جرير
Rahasia kinayah dalam balaghoh adalah menjelaskan makna dan membangkitkan kesadaran para pendengar.
2)      Isti’arah
-         (ضرب عليك العنكبوت) فقد شبه بيت جرير في ضعفه بيت العنكبوت, و هي توحي بالازدراء
3)      Tasybih
            Uslub balaghoh dalam sya’ir al-Farazdaq di atas terdapat pada baris awal dari bait ke sembilan (أَحْلامُنَا تَزِنُ الْجِبَالَ زَرَانَةً). Penyair menyerupakan akal-akal kaumnya dalam ketetapannya dengan gunung. Sedangkan, pada baris ke dua (و تَخَالُنَا جِنًا إذا ما نَجْهَلُ) penyair menyerupakan mereka dalam kekuatannya seperti jin, yaitu memberikan gambaran kebebasan mereka dalam setiap waktu.
4)      Insya’i
-         هل يتحلحل؟: إستفهام للنفى
-         و ترقبوا  : أمر غرضه السخرية
-         ادفع      : أمر غرضه التعجيز. و بقية الأساليب خبرية غرضها الفخر أو الهجاء.


G.    Keistimewaan Syi’ir al-Farazdaq

a.       Al-Farazdaq mampu menggambarkan fenomena sosial yang terjadi di Arab ke dalam syi’irnya. Maka, penopang rumah menunjukkan tenda yang ditinggal oleh orang Arab dan bersembunyi di teras rumah yang merupakan adat dari mereka. Sedikitnya sumber mata air yang menyebabkan terjadinya perebutan diantara mereka, suku yang kuat berada di depan untuk minum dan suku yang lemah berada di belakang. Seperti halnya, syi’ir-syi’ir itu membalikkan sesuatu dari pengetahuan penyair tentang Islam. Seperti dalam ucapan:
سمك السماء, حكم السماء, ضربت عليك العنكبوت.
b.      Uslub-uslub balaghoh yang terkandung dalam syi’iral-Farazdaq memiliki perbedaan atau keistimewaan tentang kekuatan serta menyebarnya gambaran kebaduwiyahan dan kata-kata yang aneh. Oleh karena itu, banyak ahli bahasa yang memperhatikan syi’ir-syi’irnya. Pengkritik berpendapat tentangnya:"إنه ينحت من صخر", “sesungguhnya dia mengukir dari gurun pasir”.

H.    KESIMPULAN
Masa Umaiyah yang mempunyai format baru dalam pemerintahannya, telah memungkinkan para penyair masa ini untuk mengembangkan potensi kepenyairan mereka dengan cara yang lebih bebas. Hal ini didukung oleh munculnya partai politik, sekte, fanatisme kebangsaan, dll. Hal ini menyediakan lapangan pekerjaan bagi para penyair untuk menjadi juru bicara setiap kelompok. Mereka bertindak sebagai penyerang atau penjaga gawang bagi kelompoknya.Tidak heran bila jenis puisi politik (baik hija’ maupun fakhro) menjadi trend pada masa ini.
Sebagai penyair yang tumbuh dalam lingkungan kondusif untuk mengembangkan potensi penyair hija’, al-Farazdaq menemukan genre baru dalam syi’ir hija’ atau fakhro, yaitu syi’ir polemik/ pertikaian individual. Adapun materi dari syi’ir hija’ adalah meninggikan individu yang bersyair dan merendahkan lawannya bahkan juga sukunya. Puisi sebagai alat hegemoni suatu kekuatan harus ditangkis dengan alat yang sama. Nyatalah bahwa puisi memerankan kekuatan efektif untuk membela dan menyerang individu atau kelompok lainnya di zaman Bani Umaiyah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar