Judul Buku: Dengan Hati
Penulis: Syafrina Siregar
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Kedua, November 2013
Tebal: 280 Halaman
ISBN: 978-979-22-9998-4
Peresensi: Wahyu Eko Sasmito, Mahasiswa di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya
Peresensi: Wahyu Eko Sasmito, Mahasiswa di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya
Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat dunia memperingatinya sebagai
hari AIDS sedunia. Tentu masih segar di benak kita tentang bagaimana peringatan
hari AIDS bulan lalu. Banyak komunitas yang peduli HIV/AIDS mengadakan aksi turun
jalan di beberapa kota besar pada hari itu. Secara bersama-sama, mereka
mensosialisasikan kepada masyarakat luas agar mereka tidak lagi memiliki perspektif
buruk dan mendiskriminasasikan secara berlebihan kepada Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA). Selama ini, masyarakat kita cenderung lebih mendiskriminasikan ODHA
daripada segala perbuatan yang dapat menimbulkan ODHA itu sendiri, seperti
menggunakan jarum suntik secara bergantian dalam memakai obat-obatan terlarang,
sering bergonta-ganti pasangan dalam berhubungan seksual, dlsb.
Dengan Hati merupakan
sebuah novel yang lahir karena rasa keprihatinan penulis serta berbagai macam
laporan dari teman-temannya terkait tentang tindakan diskriminasi terhadap para
ODHA. Mereka sering mendapatkan cacian, hinaan dan bahkan mendekatinya pun
masyarakat merasa enggan. Karena selama ini perspektif masyarakat terhadap
penyakit AIDS itu merupakan sebuah penyakit “kutukan” akibat dari perbuatan
yang menjijikkan dari si penderita penyakit AIDS tersebut. Padahal, perspektif
seperti ini belum tentu benar, karena penyakit AIDS juga dapat terjadi karena
faktor keturunan dan penularan.
Melalui Dengan Hati, Syafrina Siregar, selain sebagai
penulis novel, juga pernah berkecimpung secara langsung dalam pekerjaan yang
berhubungan dengan isu HIV/AIDS berusaha untuk memberikan pembelajaran kepada
para pembaca tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia HIV/AIDS.
Beberapa kejadian yang disajikan dalam novel ini mampu memberikan wawsan baru
bagi kita semua yang masih awam dengan dunia HIV/AIDS. Bahasa yang digunakan
pun cukup sederhana dan mudah dipahami serta alur yang mengalir begitu saja
menjadikan novel ini sangat nikmat untuk dibaca.
Mengambil latar belakang isu HIV/AIDS, Dengan Hati bercerita
tentang persahabatan Mila dan Santi melewati berbagai masalah terkait dengan
isu ini selama mereka bekerja di WorldCare. WorldCare merupakan sebuah
organisasi nonprofit yang mendapat dana dari pemerintah Amerika untuk menangani
program mengenai isu HIV/AIDS di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia
(hlm 19).
Mereka berdua selalu bersama, mulai dari hal bekerja hingga sekadar
shoping, jalan-jalan dan makan pun mereka selalu bersama. Mereka ini ibarat
amplop surat dan perangko. Maklum karena mereka memiliki nasib yang sama, yaitu
tidak komplitnya lagi keluarga mereka. Sejak kelas enam SD, Mila sudah
ditinggal mati oleh ibunya dan sekarang hanya tinggal bersama ayahnya Prof. Dr.
dr. Zakaria, SpOG, pembantunya bik Isah dan Fani anak dari bik Isah, sedangkan
Santi yang selalu hidup sendiri hingga ia bekerja di Medan sekarang ini. Tapi,
persahabatan ini sempat terputus sejenak karena sifat keras kepalanya Mila
(belum bisa menerapkan semua teori menanggulangi ODHA, meski ia telah
mengetahuinya) ketika ia mengetahui bahwa Santi itu HIV positif. Dan dari
sinilah, Mila baru menyadari bahwa Santi hidup sendiri selama ini karena ia
dibenci oleh seluruh keluargannya kecuali adiknya, Reza.
Bagi Mila, Santi merupakan seorang teman sekaligus kakak. Setiap
permasalahan yang tengah dihadapinya kemudian disaringkan kepada Santi selalu
melahirkan sebuah penyelesaian. Kecuali satu permasalahan, yaitu masalah
cintanya kepada Ian Weber (bos di WorldCare yang berasal dari Wasington,
Amerika). Meski berulangkali Santi mengatakan kepada Mila bahwa Ian juga cinta
kepadannya, Mila selalu mengelak malu-malu. Hal ini diketahui Santi dari sorot
matanya Ian yang lain dari biasanya setiap kali ia bertemu dengan Mila.
Akhirnya, keduanya hanya saling memendam rasa cintanya di dalam diri mereka
masing-masing.
Suatu ketika, Mila memberanikan diri untuk menyatakan cintanya
kepada Ian. Ia sengaja pulang paling akhir dari bekerja agar dapat bertemu
dengan Ian secara langsung, berdua tiada yang lainnya. Tapi, ketika ia mau
keluar dari pintu ruang kerjanya, ia melihat Ian bersama seorang gadis cantik
berambut kecokelatan digandeng dengan mesranya. Mereka pun akhirnya bertemu,
kemudian Ian mengenalkan gadis tersebut kepada Mila. Gadis itu namanya Charlie,
ia berasal dari Chicago. Seketika itu, hati Mila sangat teriris dan dirinya
dipenuhi dengan perasaan amarah.
Setelah kejadian itu, hari-hari Mila tak lagi seceria seperti
sebelumnya. Beberapa pikiran negatif pun muncul, kenapa ia pada waktu rapat
evaluasi kerja selama setahun menyetujui acara barbekyu diadakan dirumahnya?
Bagaimana kalau gadis berambut cokelat itu hadir bersama Ian pada acara
tersebut? Mau ditaruh mana mukaku ini? dan beberapa pikiran aneh lainnya.
Acara barbekyu pun tiba. Seharian penuh Mila, Santi, Lina
(Sekretaris Bos), Bik Isah, Fani dan Dini mempersiapkan segala keperluan yang
dibutuhkan dalam acara tersebut. Pada pukul delapan malam tepat, acara
bakar-bakar pun dimulai, tiba-tiba teriakan orang minta tolong dari arah dapur
terdengar keras di telinga para tamu. Dini, yang hamil di luar nikah dan
ditinggalkan oleh kekasihnya karena ia telah mengecewakannya (tidak memberitahukan
bahwa dirinya mengidap HIV positif) mengalami pendarahan, dia tidak tahu kalau
kandungannya sudah mencapai usia kelahiran, karena selama ini ia tak pernah
periksa kepada dokter terkait masalah kandungannya. Bukan masalah ia tak mau,
tapi semua dokter yang didatanginya selalu menolaknya karena ia seorang HIV
positif.
Melihat kejadian tersebut, Dr. Zakaria langsung membawa Dini ke
Rumah Sakit tempat ia bekerja untuk menjalani operasi sesar. Mila sebagai
seorang anak perasaannya bercampur-aduk, antara rela dan tidak tega. Bagaimana
kalau ayahnya tercinta itu meninggal karena terinfeksi virus HIV saat
mengoperasi Dini? Mila pun akhirnya hanya bisa pasrah dan murung di alam kamar.
Keesokan harinya Mila menjenguk Dini ke Rumah Sakit. Alhamdulillah,
Dini dan anaknya sehat semua. Dini merasa senang memiliki teman baik seperti
Mila ditambah lagi kekasihnya yang dulu meninggalkannya, kini telah insaf dan
kembali kepadanya lagi. Setelah itu, Mila langsung pergi ke kosnya Santi untuk
memberikan kabar baik ini sekalian mengajaknya pergi jalan-jalan. Tapi setelah
sampai disana, ditemuilah Mila dengan wajah Santi yang pucat dan lemas.
Akhirnya, Mila pun membawa Santi ke Rumah Sakit tempat bekerja ayahnya. Santi
pun disarankan untuk menjalani rawat inap karena kondisinya sangat lemas dan
tidak memungkinkan jika dibawa pulang.
Keesokan harinya Dr. Zakaria mendapat telepon dari Rumah Sakit
bahwa Santi telah meninggal dunia. Kabar ini pun disampaikan Dr. Zakaria kepada
Mila. Dan seketika, Mila kaget tak percaya. Mila pun akhirnya bergegas untuk
menghubungi keluarga Santi yang ada di Jogja. Tapi apa tanggapannya? mereka tak
ada yang datang sampai jenazah Santi selesai dimakamkan. Kecuali hanya Reza
yang mau datang, itu pun ketika jenazah Santi sudah dimakamkan beberapa hari
sebelumnya.
Sepeninggalnya Santi, Mila tak punya teman curhat lagi mengenai
permasalahannya, terutama masalah cintanya kepada Ian, yang sampai sekarang
belum juga terkabulkan. Suasana kantor pun berubah menjadi hampa, tak ada lagi
canda-tawa diantara keduanya. Kondisi ini mengakibatkan Mila merasa bosan dan
ingin segera keluar dari WorldCare.
Saat Mila akan pulang dari kerja, tiba-tiba Charlie datang
menghampirinya. Katanya ia datang dari
Chicago tanpa sepengetahuan Ian. Kemudian ia pun mengajak Mila untuk makan di Pagaruyung
sekaligus membicarakan masalah hubungan Ian dengan Mila. Kedatangannya kali ini
untuk menyatukan mereka berdua, tapi, kata Charlie hubungan diantara mereka
terdapat suatu penghalang yang membuat Ian tak pernah mengutarakan cintanya
kepada Mila. Mila mencoba untuk memahami perkataan Charlie, tapi sampai akhir
pembicaraan pun Mila tak mendapatkan pemahaman. Dan akhirnya pulang dengan
membawa segembol pertanyaan.
Untuk memperjelas pembicaraan tersebut, akhirnya Mila memberanikan
diri untuk mendatangi Ian di apartemennya secara langsung. Ketika sampai di
depan pintu kamarnya Ian, Mila ragu karena terdengar suara lembut dari seorang
gadis, tentu suara itu suaranya Charlie. Namun, akhirnya dia terpaksa masuk ke
kamar juga karena ketahuan petugas keamanan dari apartement tersebut. Pada saat
inilah terjadi kejadian yang sangat menegangkan. Charlie dengan getolnya
meminta Ian untuk segera megunkapkan isi hatinya kepada Mila, tapi Ian terus
membentak Charlie tiada henti. Diam Charlie! Begitupun dengan Charlie, ia tak
mau menyerah merayu Ian agar segera mengungkapkan perasaannya. Akhirnya Ian pun
menyeletuk, “Aku HIV positif Mila”. Ungkapan itu membuat Charlie kaget dan
perginya Mila meninggalkan kamar tersebut.
Kini hati Mila bimbang, berusaha mencari jawaban untuk diutarakan
kepada Ian. Ia juga meminta pendapat kepada Dr. Zakaria. Dan, Dr. Zakaria pun
diliputi dengan rasa kebingungan memilih untuk memasrahkan jawabannya kepada
Mila, karena ia merasa, Mila sudah mengetahui segala konskuensinya memiliki
pasangan seorang ODHA. Akhirnya, keesokan harinya, ketika ia pergi ngantor, ia
langsung menuju ke ruangannya Ian untuk menyatakan cinta kepada Ian sekalian
dengan menyodorkan surat pengunduran dirinya jika cintanya tidak diterima oleh
Ian. Karena ia telah mantab dengan pemikirannya, yaitu nilai manusia terletak
pada karakter dan akal budi, bukan status kesehatan atau sosial. Semua ini
hanya dapat dilakukan “Dengan Hati”, karena dengan hatilah semua akan lebih
mudah dijalani. Dan sore harinya, Ian datang ke rumahnya Mila untuk melamarnya
kepada Dr. Zakaria. Sekian!
Peresensi: Wahyu Eko Sasmito adalah Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Surabaya. Resensi ini pernah dimuat di media online Rimanews.com, 14 Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar