Sabtu, 03 Mei 2014

Kisah Cinta Para ODHA


Judul Buku: Dengan Hati
Penulis: Syafrina Siregar
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Kedua, November 2013
Tebal: 280 Halaman
ISBN: 978-979-22-9998-4
Peresensi: Wahyu Eko Sasmito, Mahasiswa di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya

Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari AIDS sedunia. Tentu masih segar di benak kita tentang bagaimana peringatan hari AIDS bulan lalu. Banyak komunitas yang peduli HIV/AIDS mengadakan aksi turun jalan di beberapa kota besar pada hari itu. Secara bersama-sama, mereka mensosialisasikan kepada masyarakat luas agar mereka tidak lagi memiliki perspektif buruk dan mendiskriminasasikan secara berlebihan kepada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Selama ini, masyarakat kita cenderung lebih mendiskriminasikan ODHA daripada segala perbuatan yang dapat menimbulkan ODHA itu sendiri, seperti menggunakan jarum suntik secara bergantian dalam memakai obat-obatan terlarang, sering bergonta-ganti pasangan dalam berhubungan seksual, dlsb.

Dengan Hati merupakan sebuah novel yang lahir karena rasa keprihatinan penulis serta berbagai macam laporan dari teman-temannya terkait tentang tindakan diskriminasi terhadap para ODHA. Mereka sering mendapatkan cacian, hinaan dan bahkan mendekatinya pun masyarakat merasa enggan. Karena selama ini perspektif masyarakat terhadap penyakit AIDS itu merupakan sebuah penyakit “kutukan” akibat dari perbuatan yang menjijikkan dari si penderita penyakit AIDS tersebut. Padahal, perspektif seperti ini belum tentu benar, karena penyakit AIDS juga dapat terjadi karena faktor keturunan dan penularan.

Melalui Dengan Hati, Syafrina Siregar, selain sebagai penulis novel, juga pernah berkecimpung secara langsung dalam pekerjaan yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS berusaha untuk memberikan pembelajaran kepada para pembaca tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia HIV/AIDS. Beberapa kejadian yang disajikan dalam novel ini mampu memberikan wawsan baru bagi kita semua yang masih awam dengan dunia HIV/AIDS. Bahasa yang digunakan pun cukup sederhana dan mudah dipahami serta alur yang mengalir begitu saja menjadikan novel ini sangat nikmat untuk dibaca.

Mengambil latar belakang isu HIV/AIDS, Dengan Hati bercerita tentang persahabatan Mila dan Santi melewati berbagai masalah terkait dengan isu ini selama mereka bekerja di WorldCare. WorldCare merupakan sebuah organisasi nonprofit yang mendapat dana dari pemerintah Amerika untuk menangani program mengenai isu HIV/AIDS di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia (hlm 19).

Mereka berdua selalu bersama, mulai dari hal bekerja hingga sekadar shoping, jalan-jalan dan makan pun mereka selalu bersama. Mereka ini ibarat amplop surat dan perangko. Maklum karena mereka memiliki nasib yang sama, yaitu tidak komplitnya lagi keluarga mereka. Sejak kelas enam SD, Mila sudah ditinggal mati oleh ibunya dan sekarang hanya tinggal bersama ayahnya Prof. Dr. dr. Zakaria, SpOG, pembantunya bik Isah dan Fani anak dari bik Isah, sedangkan Santi yang selalu hidup sendiri hingga ia bekerja di Medan sekarang ini. Tapi, persahabatan ini sempat terputus sejenak karena sifat keras kepalanya Mila (belum bisa menerapkan semua teori menanggulangi ODHA, meski ia telah mengetahuinya) ketika ia mengetahui bahwa Santi itu HIV positif. Dan dari sinilah, Mila baru menyadari bahwa Santi hidup sendiri selama ini karena ia dibenci oleh seluruh keluargannya kecuali adiknya, Reza.

Bagi Mila, Santi merupakan seorang teman sekaligus kakak. Setiap permasalahan yang tengah dihadapinya kemudian disaringkan kepada Santi selalu melahirkan sebuah penyelesaian. Kecuali satu permasalahan, yaitu masalah cintanya kepada Ian Weber (bos di WorldCare yang berasal dari Wasington, Amerika). Meski berulangkali Santi mengatakan kepada Mila bahwa Ian juga cinta kepadannya, Mila selalu mengelak malu-malu. Hal ini diketahui Santi dari sorot matanya Ian yang lain dari biasanya setiap kali ia bertemu dengan Mila. Akhirnya, keduanya hanya saling memendam rasa cintanya di dalam diri mereka masing-masing.

Suatu ketika, Mila memberanikan diri untuk menyatakan cintanya kepada Ian. Ia sengaja pulang paling akhir dari bekerja agar dapat bertemu dengan Ian secara langsung, berdua tiada yang lainnya. Tapi, ketika ia mau keluar dari pintu ruang kerjanya, ia melihat Ian bersama seorang gadis cantik berambut kecokelatan digandeng dengan mesranya. Mereka pun akhirnya bertemu, kemudian Ian mengenalkan gadis tersebut kepada Mila. Gadis itu namanya Charlie, ia berasal dari Chicago. Seketika itu, hati Mila sangat teriris dan dirinya dipenuhi dengan perasaan amarah.

Setelah kejadian itu, hari-hari Mila tak lagi seceria seperti sebelumnya. Beberapa pikiran negatif pun muncul, kenapa ia pada waktu rapat evaluasi kerja selama setahun menyetujui acara barbekyu diadakan dirumahnya? Bagaimana kalau gadis berambut cokelat itu hadir bersama Ian pada acara tersebut? Mau ditaruh mana mukaku ini? dan beberapa pikiran aneh lainnya.

Acara barbekyu pun tiba. Seharian penuh Mila, Santi, Lina (Sekretaris Bos), Bik Isah, Fani dan Dini mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan dalam acara tersebut. Pada pukul delapan malam tepat, acara bakar-bakar pun dimulai, tiba-tiba teriakan orang minta tolong dari arah dapur terdengar keras di telinga para tamu. Dini, yang hamil di luar nikah dan ditinggalkan oleh kekasihnya karena ia telah mengecewakannya (tidak memberitahukan bahwa dirinya mengidap HIV positif) mengalami pendarahan, dia tidak tahu kalau kandungannya sudah mencapai usia kelahiran, karena selama ini ia tak pernah periksa kepada dokter terkait masalah kandungannya. Bukan masalah ia tak mau, tapi semua dokter yang didatanginya selalu menolaknya karena ia seorang HIV positif.

Melihat kejadian tersebut, Dr. Zakaria langsung membawa Dini ke Rumah Sakit tempat ia bekerja untuk menjalani operasi sesar. Mila sebagai seorang anak perasaannya bercampur-aduk, antara rela dan tidak tega. Bagaimana kalau ayahnya tercinta itu meninggal karena terinfeksi virus HIV saat mengoperasi Dini? Mila pun akhirnya hanya bisa pasrah dan murung di alam kamar.

Keesokan harinya Mila menjenguk Dini ke Rumah Sakit. Alhamdulillah, Dini dan anaknya sehat semua. Dini merasa senang memiliki teman baik seperti Mila ditambah lagi kekasihnya yang dulu meninggalkannya, kini telah insaf dan kembali kepadanya lagi. Setelah itu, Mila langsung pergi ke kosnya Santi untuk memberikan kabar baik ini sekalian mengajaknya pergi jalan-jalan. Tapi setelah sampai disana, ditemuilah Mila dengan wajah Santi yang pucat dan lemas. Akhirnya, Mila pun membawa Santi ke Rumah Sakit tempat bekerja ayahnya. Santi pun disarankan untuk menjalani rawat inap karena kondisinya sangat lemas dan tidak memungkinkan jika dibawa pulang.

Keesokan harinya Dr. Zakaria mendapat telepon dari Rumah Sakit bahwa Santi telah meninggal dunia. Kabar ini pun disampaikan Dr. Zakaria kepada Mila. Dan seketika, Mila kaget tak percaya. Mila pun akhirnya bergegas untuk menghubungi keluarga Santi yang ada di Jogja. Tapi apa tanggapannya? mereka tak ada yang datang sampai jenazah Santi selesai dimakamkan. Kecuali hanya Reza yang mau datang, itu pun ketika jenazah Santi sudah dimakamkan beberapa hari sebelumnya.

Sepeninggalnya Santi, Mila tak punya teman curhat lagi mengenai permasalahannya, terutama masalah cintanya kepada Ian, yang sampai sekarang belum juga terkabulkan. Suasana kantor pun berubah menjadi hampa, tak ada lagi canda-tawa diantara keduanya. Kondisi ini mengakibatkan Mila merasa bosan dan ingin segera keluar dari WorldCare.

Saat Mila akan pulang dari kerja, tiba-tiba Charlie datang menghampirinya. Katanya ia datang  dari Chicago tanpa sepengetahuan Ian. Kemudian ia pun mengajak Mila untuk makan di Pagaruyung sekaligus membicarakan masalah hubungan Ian dengan Mila. Kedatangannya kali ini untuk menyatukan mereka berdua, tapi, kata Charlie hubungan diantara mereka terdapat suatu penghalang yang membuat Ian tak pernah mengutarakan cintanya kepada Mila. Mila mencoba untuk memahami perkataan Charlie, tapi sampai akhir pembicaraan pun Mila tak mendapatkan pemahaman. Dan akhirnya pulang dengan membawa segembol pertanyaan.

Untuk memperjelas pembicaraan tersebut, akhirnya Mila memberanikan diri untuk mendatangi Ian di apartemennya secara langsung. Ketika sampai di depan pintu kamarnya Ian, Mila ragu karena terdengar suara lembut dari seorang gadis, tentu suara itu suaranya Charlie. Namun, akhirnya dia terpaksa masuk ke kamar juga karena ketahuan petugas keamanan dari apartement tersebut. Pada saat inilah terjadi kejadian yang sangat menegangkan. Charlie dengan getolnya meminta Ian untuk segera megunkapkan isi hatinya kepada Mila, tapi Ian terus membentak Charlie tiada henti. Diam Charlie! Begitupun dengan Charlie, ia tak mau menyerah merayu Ian agar segera mengungkapkan perasaannya. Akhirnya Ian pun menyeletuk, “Aku HIV positif Mila”. Ungkapan itu membuat Charlie kaget dan perginya Mila meninggalkan kamar tersebut.

Kini hati Mila bimbang, berusaha mencari jawaban untuk diutarakan kepada Ian. Ia juga meminta pendapat kepada Dr. Zakaria. Dan, Dr. Zakaria pun diliputi dengan rasa kebingungan memilih untuk memasrahkan jawabannya kepada Mila, karena ia merasa, Mila sudah mengetahui segala konskuensinya memiliki pasangan seorang ODHA. Akhirnya, keesokan harinya, ketika ia pergi ngantor, ia langsung menuju ke ruangannya Ian untuk menyatakan cinta kepada Ian sekalian dengan menyodorkan surat pengunduran dirinya jika cintanya tidak diterima oleh Ian. Karena ia telah mantab dengan pemikirannya, yaitu nilai manusia terletak pada karakter dan akal budi, bukan status kesehatan atau sosial. Semua ini hanya dapat dilakukan “Dengan Hati”, karena dengan hatilah semua akan lebih mudah dijalani. Dan sore harinya, Ian datang ke rumahnya Mila untuk melamarnya kepada Dr. Zakaria. Sekian!

Peresensi: Wahyu Eko Sasmito adalah Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Surabaya. Resensi ini pernah dimuat di media online Rimanews.com, 14 Januari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar