Selasa, 06 November 2012

Laporan Hasil Penelitian Sistem Pendidikan Akhlak Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) di Desa Takeran Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan


KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurahkan kepada suri tauladan Nabi Muhammad SAW, dengan risalah yang beliau sampaikan telah membawa manusia dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah serta kepada para keluarga Rosulullah, para sahabat, serta orang-orang yang tetap istiqomah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Makalah ini merupakan sebuah laporan hasil peneliti di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) desa Takeran kecamatan Takeran kabupaten Magetan, yang berisi tentang sejarah berdirinya pondok, sistem pendidikan akhlak serta beberapa kegiatan yang ada di Pondok PSM, guna untuk memenuhi tugas pada matakuliah Akhlak Tasawuf .
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. H. Kharisuddin Aqib, M.A. selaku dosen matakuliah Akhlak Tasawuf yang senantiasa membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Kemudian kepada Kyai H. Zuhdi Tafsir yang telah berkenan memberikan penjelasan tentang pondok PSM. Serta kepada para Santri pondok PSM dan semua pihak yang ikut berperan dalam penyelesaian makalah ini, yang mana tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan bagi penulis pada khususnya, dan apabila dijumpai banyak kesalahan dalam penulisan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Tak ada gading yang tak retak, begitu pun dengan makalah ini, pasti ada cacatnya. Jadi, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis butuhkan guna untuk kesempurnaan penulisan di waktu yang akan datang.
Surabaya, 4 Juli 2012

 Wahyu Eko Sasmito






BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran ataupun pertimbangan (Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011:2).
Ahmad Amin merupakan seorang sosok pakar akhlak modern, menyatakan bahwa sebagian ulama’ mendefinisikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan, maksudnya, apabila kehendak itu sudah menjadi suatu kebiasaan maka itulah yang dinamakan akhlak.
Jadi, akhlak merupakan tindakan yang dilakukan manusia tanpa melalui pertimbangan tertentu sebelumnya, dan muncul menjadi suatu kebiasaan. Nah, dalam hal ini tindakan (perbuatan) yang dilakukan manusia menjelma menjadi parilaku kebiasaan yang mencerminkan karakter pribadi manusia tersebut. Sedangkan perilaku yang terjadi secara spontanitas itu dapat berupa perilaku yang baik maupun perilaku yang buruk sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan setiap harinya.
Semuanya itu terjadi karena adanya faktor yang memengaruhinya baik dari dalam maupun dari luar misalnya, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakt, lingkungan sekolah, dan lain sebagainya. Apabila lingkungan yang memngaruhinya itu memicu untuk berakhlak baik maka akan terbentuk akhlak yang baik pula, begitu pun sebaliknya. Untuk itu agar terbentuk suatu akhlak yang baik perlu adanya pendidikan dalam pembentukan akhlak yang terpuji.
Berawal dari itu semua penulis mengadakan penelitian di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) terkait masalah sistem pendidikan akhlak yang dikembangkan di sana.

B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sejarah berdirinya dan perkembangannya Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan?
b.      Bagaimana sistem pendidikan akhlak yang ada di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan?
c.       Kegiatan apa yang rutin dilaksanakan di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan?
C.    Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui sejarah berdirinya dan perkembangannya Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan.
b.      Untuk mengetahui sistem pendidikan akhlak yang ada di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien.
c.       Untuk mengetahui kegiatan rutin yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Sejarah Berdirinya dan Perkembangannya Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan.
Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) ini tergolong pesantren yang sangat tua umurnya yang berada di desa Takeran kecamatan Takeran kabupaten Magetan. Pondok pesantren ini dirintis oleh Kyai Hasan Ulama’ dan dibantu oleh rekanya yaitu Kyai Muhammad Ilyas pada tahun 1303 H, atau tahun 1880 M. Mereka berdua adalah tokoh pemuka agama sekaligus ulama’ sufiyah yang sangat disegani oleh masyarakat di daerahnya pada waktu itu, yakni di Takeran. Sebelumnya, Kyai Hasan Ulama’ adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro yang ketika itu terjadi peperangan melawan pasukan VOC. Kyai Khalifah (pangeran Kertapati) merupakan spiritual pangeran Diponegoro sekaligus ayahanda dari Kyai Hasan Ulama’ turut serta dalam peperangan tersebut. Sedangkan beliau sendiri melarikan diri ke arah daerah Takeran. Sebelum tiba di Takeran, mereka singgah di daerah Tegalrejo, Ponorogo dan sempat membangun semacam langgar di sana. Sesampainya di takeran, mereka membangun sebuah pondok yang diberi nama pondok Takeran, yakni cikal bakal pondok PSM.
Model pendidikan pondok Takeran ini masih menggunakan sistem yang tradisisonal murni (bandongan, sorogan, dan wetonan) dengan Kyai Hasan Ulama’ sebagai mursyid (gurunya) dan berbasis tarekat Sathoriyah. Ribuan santri pun berdatangan dari berbagai daerah untuk menimba ilmu sekaligus menjadi murid tarekat.
Kyai Hasan Ulama’ wafat tahun 1920 M. Kemudian kepemimpinan pesantren diteruskan oleh Kyai Imam Muttaqien yang merupakan putera sulungnya Kyai Hasan Ulama’. Model pendidikanya pun masih bersifat tradisional murni sebagaimana model pendidikan di masa Kyai Hasan Ulama’. Beliau memimpin pondok hingga tahun 1936.
Setelah Kyai Imam Muttaqien wafat, kepemimpinan pondok diteruskan oleh puteranya yang bernama Kyai Imam Mursyid Muttaqien. Pada masa kepemimpinan beliaulah terjadi pembaharuan dan modernisasi, yang semula bernama pondok Takeran diganti menjadi Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) pada tanggal 16 September 1943. Model pendidikanya pun sudah selangkah menuju ke arah modernisasi, yakni memadukan sistem pendidikan tradisional dengan sistem yang modern, sehingga pada periode ini dikenal pendidikan dengan sistem “Kulliatul Muallimin” yang ditandai dengan munculnya lembaga pendidikan formal seperti sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah. Meskipun demikian, PSM masih tetap memegang tradisi tarekat Sathoriyah sebagaimana halnya pondok Takeran. Dan di era ini sebuah sistem pengelolaan pesantren lebih terbuka dan mulai dikenalkan pada khalayak umum, sehingga pesantren tidak hanya mengandalkan karisma/ketokohan figure saja, tetapi diperkuat dengan sistem yang terorganisir,  melalui sebuah perencanaan yang sistematis dan simultan. Maka sejak periode ini, PSM melalui alumni yang berasal dari berbagai daerah mendirikan cabang-cabang PSM, dengan pilar utamanya tetap berbasis pendidikan. Sampai sekarang ini PSM memiliki 99 cabang, yang tersebar di seluruh negara Indonesia.
Khususnya Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan sekarang ini diasuh oleh Kyai H. Zuhdi Tafsir. Beliau merupakan orang yang keras, tegas, bijaksana, serta bertanggung jawab. Beliau ini menumbuhkan aura salafi kembali di pondok ini sejak tahun 2010 M. Karena beliau merasa bahwa para santri telah mengesampingkan kegiatan yang ada di pondok, mereka lebih mementingkan kegiatan yang dilaksanakan di sekolah daripada kegiatan yang ada di pondok. Jadi, keilmuan para santri dalam bidang keagamaan sangat minim. Ini semua sudah tidak sesuai dengan tujuan didirikanya pondok PSM yang mana ingin memancarkan pendidikan yang seluas-luasnya tentang Islam serta memiliki jiwa yang cakap serta tinggi kepahamannya tentang Islam.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki keadaan tersebut, beliau mendirikan madrasah diniyah yang pelajarannya khusus mengkaji kitab-kitab kuning yang diberi nama dengan “COKRO KERTOPATI”. Dan Alhamdulillah, sekarang ini sudah ada kemajuan dari yang sebelumnya.

B.     Sistem Pendidikan Akhlak di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan.
Sistem pendidikan akhlak di pondok PSM ini unik dan berbeda dengan sistem pendidikan di pondok-pondok yang lain, yang mana sistemnya yaitu hubungan antara Kyai, Ustad dan Santri tidak ada jaraknya, maksudnya mereka sering sesrawungan bersama, berbincang-bincang bersama, duduk-duduk nyantai bersama, shalawatan bersama, dan masih banyak hal-hal lain yang dilakukan bersama-sama. Sehingga, kita sebagai orang awam yang belum kenal dengan tradisi mereka akan sulit membedakan antara Kyai, Ustad, dan Santri di saat mereka sedang kumpul bersama. Meskipun demikian, tatakrama dan sopan santun para Santri kapada Ustad dan Kyainya tetap dijaga, karena itu semua hukumnya wajib bagi para pencari ilmu supaya ilmunya barokah di dunia dan akhiratnya.
Kyai H. Zuhdi Tafsir mengatakan bahwa tradisi itu telah dilakukan sejak dulu hingga sekarang karena merupakan wasiat dari Kyai Imam Mursyid Muttaqien yang intinya bahwa anak cucu harus berpenampilan biasa dan tidak membatasi hubungan dengan Santrinya, sehingga tidak memutus tersalurnya ilmu yang mereka miliki kepada para Santri. Maksudnya, dengan seringnya sesrawungan bersama, Santri yang ingin bertanya tentang suatu permasalahan kepada Kyai atau Ustadnya tidak merasa sungkan atau minder lagi. Jadi, proses pentransferan ilmu dapat berjalan dengan baik. Hal ini berbeda dari pondok-pondok yang lain, yang mana hubungan antara Kyai, Ustad, dan Santri terasa masih ada pembatas di antara mereka, samapai-sampai ketika Santri mengetahui Kyainya mau memanggil dirinya, mereka melarikan diri terlebih dahulu. Semua ini dapat menjadi sebuah penghalang terhadap proses pentransferan ilmu dari Kyai atau Ustad kepada Santrinya. Nah, inilah salah satu alasan yang menyebabkan tradisi sesrawungan bersama ini terus dilestarikan.
Selain daripada itu, Kyai H. Zuhdi Tafsir selalu menyuruh kepada para Santri, keluarganya serta para penduduk di sekitar pondok untuk tetap melaksanakan dawuh-dawuh (wasiat) para sesepuh, yaitu: Kyai Hasan Ulama’ dan Kyai Imam Mursyid Muttaqien. Berikut dawuh-dawuh dari para sesepuh:
a.    Wasiat dari Kyai Hasan Ulama’
1.      Ojo kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat.
(Jangan berharap jadi orang kaya dan jangan takut hidup miskin). Wasiat di atas dimaksudkan supaya kita sebagai umat islam tidak terlalu memburu harta dan tidak juga meminta-minta jabatan.
2.      Pilih ngendi, sugih tanpo iman opo mlarat nanging iman.
(pilih mana, kaya tanpa iman apa miskin tetapi beriman).
3.      Ojo demen ngudi pengaruhing pribadi (hawa nafsu), kang ono diopeni kanti tenanan, ojo kesengsem gebyaring kadonyan, kanuragan lan pengawasan dudu tujuan. Topo ngrame lakonono.
Maksudnya, kita sebagai umat islam itu jangan menuruti hawa nafsu pada diri kita pribadi, bersyukurlah terhadap apa yang kita miliki sekarang ini jangan sampai terlena dengan gemerlapnya dunia ini. Kita sebagai umat islam harus selalu topo ngrame (dzikrullah) selalu mengingat Allah.
4.      Sumber bening ora bakal golek timbo.
(sumber yang bening tak akan pernah mencari timba). Maksudnya, dalam menjalani kehidupan kita tidak boleh hanya menyia-nyiakan waktu hanya untuk mencari jabatan. Akan tetapi, kalau kita diserahi tanggung jawab atas jabatan tertentu, amanat itu harus kita laksanakan.
5.      Ojo demen owah-owah tatanan poro sesepuh, wajibe mung ngopeni lan nglestareake.
Maksudnya, generasi penerus pondok pesantren dilarang merubah semua tatanan yang sudah ditetapkan oleh para sesepuh terdahulu, mereka hanya diwajibkan untuk merawat dan melestarikanya.
6.      Ojo demen nyunggi katoke mbahe, amal sholeh tindakno.
Maksudnya, generasi penerus itu dilarang bangga terhadap kakeknya atau orang tuanya yang menjadi seorang pejabat atau pun Kyai yang terpandang di masyarakat. Mereka tetap disuruh untuk menjalankan amal sholih.
7.      Nyawiji naliko nindakake kautaman, pisah ing dalem kemaksiatan, ing tembe bakal ono titi mangsane anak putu ono kang nemu emas sak jago gedhene, ananging iyo mung kandeg semono iku imane.
Maksudnya, kita sebagai umat islam disuruh untuk bersatu dalam melaksanakan perbuatan yang mulia (yang utama), dan menghindari segala perbuatan maksiat.
8.      Ora lewat anak putuku sing guyub rukun, dipodo tansah ngrameake masjid, tak pangestoni slamet dunyo akherat.
Artinya, tidak terlewatkan cucu-cucuku yang selalu menjaga kerukunan, ayo sama-sama meramaikan masjid, dijamin akan selamat dunia akhirat.
9.      Ojo kendhat tansah nindakake mujahadah taubat, koyo kang wis diparengake guru.
Maksudnya, generasi penerus disuruh untuk selalu melaksanakan mujahadah taubat, seperti yang telah diajarkan oleh para guru terdahulu.
b.   Wasiat dari Kyai Imam Mursyid Muttaqien
1.      Warga PSM kudu netepi mujahadah.
(warga PSM harus melaksanakan mujahadah)
2.      Warga PSM kudu ambelani ke PSM-ane.
( warga PSM itu harus menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar)
3.      Warga PSM kudu netepi komando akherat.
( warga PSM jika mendengar adzan harus segera pergi ke masjid)
4.      Warga PSM kudu naati amar-amar PSM.
(warga PSM harus menaati perintah-perintah pondok PSM)
5.      Warga PSM kudu bersatu rukun manunggal.
(warga PSM itu harus bersatu menjadi satu)
6.      Warga PSM kudu wani ambrantas hawa nafsu.
(warga PSM itu harus berani memerangi hawa nafsunya)
7.      Warga PSM pirantine AL-Qur’an, tasbih, sajadah, dene gamane wesi aji (pusoko).
(warga PSM itu paralatanya yaitu, AL-Qur’an, tasbih, sajadah. Sedangkan sejatanya adalah wesi aji (keris)
8.      Warga PSM ora keno njajal kabisane.
9.      Warga PSM marang lelakon iku kudu ditekakake marang kasampurnan.
(warga PSM itu apabila menjalankan sebuah usaha misalnya menuntut ilmu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh hingga mencapai hasil yang sempurna)
10.  Warga PSM ora keno mberkahake kabisane.
11.  Warga PSM yen ono kepentingan cukup diwacakake sak kalimat.
(warga PSM apabila menghadapi sebuah masalah atau pun kepentingan cukup dibacakan satu kalimat yaitu lafal “LAA ILAAHA ILLALLAH)”
12.  Warga PSM yen kepergok sambate……………..pimpinane.
(dulu warga PSM ini dikit-dikit  mengeluh kepada Kyai Imam Mursyid Muttaqien)
13.  Gaman wesi aji yen ono gawe dihunus.
(senjata yang dimiliki tidak boleh digunakan untuk pamer-pemeran, akan tetapi jika ada kaharusan untuk menggunakan baru saja dihunus)
14.  Warga PSM kudu biso iklas marang amale kabeh.
(warga PSM itu harus dapat ikhlas terhadap segala amalnya)
15.  Warga PSM sing wis insaf, mongko durung dibengat kudu dilatih.
(warga PSM yang sudah insaf akan tetapi belum dibaiat oleh sang guru harus dilatih terlebih dahulu)
16.  Warga PSM ojo mamang-mamang, asal taat ke PSM-ane menowo sekarat pati, senajan durung dibengat INSYAALLAH, gusti Allah piambak kang bakal nulungi.
(warga PSM itu harus yakin tidak boleh ragu-ragu akan keselamatanya di dunia maupun akhiratnya, yang terpenting yaitu melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan itu, insyallah Allah sendiri yang menolong mereka meskipun mereka belum dibaiat)
17.  Warga PSM kudu gelem dadi jagae PSM.
(warga PSM harus mau menjadi benteng atau pembela PSM)
18.  Warga PSM yen diomongi kebecikan kudu digugu senajan sing omong kuwi ora shalat.
(warga PSM itu harus menuruti terhadap semua omongan atau nasihat yang baik meskipun orang yang bicara itu tidak melakukan shalat). Salah satu santri PSM mengatakan bahwa wasiat ini ibarat “emas yang keluar dari mulut anjing pun akan tetap berupa emas”. Selain daripada itu wasiat ini juga sesuai dengan hadits Nabi “undhur maa qaala walaa tandhur manqaala”.
Wasiat-wasiat itulah yang menjadi sebuah pembelajaran dalam menjalani kehidupan ini, termasuk di dalamnya yaitu menyangkut masalah pendidikan akhlak di pondok PSM. Disamping itu semua, para Santri juga diajari beberapa kitab kuning yang di dalamnya membahas tentang masalah akhlak yaitu: kitab Wasiatul Mustafa, Taisirul Khalaq, Nashoikhul ‘ibad, dan Akhlaqulil Banin. Semua ini merupakan sebuah sistem pembelajaran akhlak pada pondok pesantren Sabilil Muttaqien (PSM).
C.    Kegiatan Rutin dari Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran, Magetan.
1.      Kegiatan Harian
a.       Kegiatan belejar-mengajar
b.      Apel pagi dan sore.
2.      Kegiatan Mingguan
a.       Muhadhoroh, dilaksanakan setiap hari sabtu malam minggu.
b.      Ratibul Hadad, dilaksanakan setiap malam jum’at ba’da shalat magrib samapi isa’.
c.       Dibaiyah, dilaksanakan setiap malam jum’at ba’da shalat isa’ hingga kurang lebih pukul 23.00 WIB. Setelah itu, dilanjutkan ngaji (surat yasin,ar-rahman, al-waq’ah, al-mulk) di makam Kyai Hasan Ulama’ secara bergantian sampai adzan subuh.
3.      Kegiatan Bulanan
a.       Mujahadah
Kegiatan ini dilaksanakan setiap malam minggu wage yang diikuti oleh seluruh santri dan warga sekitar pondok, dalam mujahadah ini amalan-amalan yang dilakukan yaitu: dimulai dari shalat magrib, shalat ba’da magrib, shalat awabin, shalat tasbih, shalat hajad, shalat isa’, shalat taubat, shalat witir, dzikir bersama secara berurutan. Setelah itu, dilanjutkan dengan khataman Al-Qur’an sampai asar keesokan harinya, yang mana dalam pembacaan juz 30 yang dilksanakan ba’da shalat asar ini dihadiri oleh seluruh warga sekitar pondok dengan setiap rumah membawa bungkusan nasi, guna untuk makan bersama. Kegiatan ini sangat bermanfaat dalam mempererat persaudaraan dan memperkuat hubungan emosional antar warga serta dapat menjaga kerukunan antar anggota masyarakat sekitar pondok.
4.      Kegiatan Tahunan
a.       Akhirussanah, dilaksanakan setiap akhir tahun pembelajaran, yaitu perpisahan dengan santri kelas tiga yang baru saja lulus.


BAB III
PENUTUP

Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) terletak di desa Takeran kecamatan Takeran kabupaten Magetan merupakan pondok yang umurnya tergolong sudah tua. Pondok ini dirintis oleh Kyai Hasan Ulama’ dan Kyai Muhammad Ilyas pada tahun 1880 M atau 1303 H yang semula bernama pondok Takeran dan berbasis tarekat Sathoriyah. Model pendidikanya pun masih bersifat tradisional (bandongan, sorogan, wetonan) yang mana Kyai Hasan Ulama’ sebagai musyidnya. Kemudian setelah wafat pada tahun 1920 M kepemimpinan pesantren diteruskan oleh puteranya yang bernama Kyai Imam Muttaqien, model pendidikanya pun masih bersifat tradisional dan berbasis tarekat Sathoriyah. Beliau wafat pada tahun 1936 M.
Kemudian kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Imam Mursyid Muttaqien. Nah, pada masa kepemimpinan beliau inilah pondok Takeran berubah menjadi Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) pada tanggal 16 September 1943. Sistem pendidikannya pun sudah selangkah menuju ke arah modernisasi, yakni memadukan sistem pendidikan tradisional dengan sistem yang modern, sehingga pada periode ini dikenal pendidikan dengan sistem “Kulliatul Muallimin” yang ditandai dengan munculnya lembaga pendidikan formal seperti sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah. Meskipun demikian, PSM masih tetap memegang tradisi tarekat Sathoriyah sebagaimana halnya pondok Takeran.
Sistem pendidikan akhlahnya pun unik, berbeda dengan pondok-pondok lain. Hubungan antara Kyai, Ustad, Santri itu tidak ada batasnya, mereka sering sesrawungan bersama, shalawatan bersama, ngaji bersama, dan masih bnyak hal-hal lain yang dilakukan bersama. Sehingga dengan tradisi yang demikian, proses pentransferan ilmu dari Kyai atau Ustad kepeda Santrinya dapat berjalan dengan baik karena para Santri tidak merasa sungkan atau minder lagi apabila mau menanyakan sebuah permasalahan kapada Kyai atau Ustadnya. Meskipun demikian, tatakrama dan sopan santun para Santri kapada Ustad dan Kyainya tetap dijaga, karena itu semua hukumnya wajib bagi para pencari ilmu supaya ilmunya barokah di dunia dan akhiratnya.
Selain daripada itu, nasihat yang mengharuskan melaksanakan dawuh-dawuh para sesepuh dalam menjalani kehidupan serta pengajian kitab kuning yang di dalamnya membahas tentang pendidikan akhlak juga merupakan salah satu pendidikan akhlak di pondok PSM ini. Kegiatan yang diadakan pun juga mengandung unsur pendidikan akhlak bagi para Santri dan seluruh warga di sekitar pondok PSM tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Akhlak Tasawuf.  Surabaya: IAIN SA Press.




















Degradasi Nilai Kebudayaan Jawa Pasca Munculnya Boy Band dan Girl Band



KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, dengan rahmat dan karunia Allah SWT penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Degradasi Nilai Kebudayaan Jawa Pascamunculnya Boy Band dan Girl Band ”. Kesemuanya ini tidak terlepas dari rahman dan rahim serta pertolongan-Nya, sehingga semua hambatan dan kendala yang dihadapi dapat diselesaikan dengan lancar. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah membimbing umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah seperti sekarang ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) pada matakuliah Bahasa Indonesia. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan secara sederhana tentang terjadinya degradasi nilai kebudayaan Jawa yang diakibatkan karena munculnya Boy Band dan Girl Band ke negara Indonesia tercinta khususnya di pulau Jawa, yang lama-kelamaan keberadaanya dapat menggeser posisi kebudayaan asli Jawa menjadi jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebudayaan Barat yang merupakan kebudayaan pendatang, karena para generasi muda beralih pandangan lebih memperhatikan kebudayaan Barat daripada kebudayaanya sendiri dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya.
 Penulis menyadari dalam proses penyelesaian makalah ini tidak lepas dari hambatan dan rintangan, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak, baik materiil maupun non materiil beban yang berat itu dapat teratasi. Oleh karena itu ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, antara lain Dr. Warsiman, M.Pd. selaku dosen matakuliah Bahasa Indonesia yang selama ini telah membimbing penulis dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, serta para penulis yang bukunya dijadikan referensi oleh penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khalayak umum dan khususnya bagi penulis pribadi, dan apabila dalam penulisan dijumpai banyak kesalah penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semua yang ada di dunia ini tidak ada yang sempurna, kecuali hanya Allah semata. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat  membangun sangat penulis harapkan guna untuk kesempurnaan penulisan yang akan datang.  

 Surabaya,  13 Juni 2012


Wahyu Eko Sasmito



A.   PENDAHULUAN
Kebudayaan tidak pernah terelakkan dari lingkup kehidupan manusia, karena dalam kebudayaanlah manusia memanifestasikan pikiran dan perasaan, sikap dan kehendaknya. Jadi, kebudayaan ini selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman serta manusianya dalam suatu masyarakat tertentu.
Menurut Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski terkait tentang masalah kebudayaan dan masyarakat mereka mengatakan bahwa keduanya merupakan Cultural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu (Soemardjan dan Soemardi, 1964:115). Kemudian, Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super-organic karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (Soekanto, 2007:150).
Dengan demikian, perubahan kebudayaan yang ada di dalam suatu masyarakat sangat erat hubungannya dengan perubahan sosial dalam masyarakat itu sendiri, secara otomatis jika keadaan sosial dari suatu masyarakat itu mengalami perubahan maka kebudayaan yang ada di dalamnya juga mengalami perubahan baik mengalami perubahan yang positif maupun negatif. Semuanya itu terjadi karena kebudayaan merupakan sebuah hasil dari karya, rasa, dan cipta masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok sosial.
Di era globalisasi ini, banyak kebudayaan Barat yang masuk ke Indonesia secara bebas, salah satunya yaitu Boy Band dan Girl Band yang merupakan musik K-Pop (Korean Pop) yang berasal dari Korea yang dewasa ini sangat digemari oleh generasi muda Jawa, bahkan seluruh Indonesia. Jadi, secara tidak langsung semua ini dapat melemahkan perhatian para generasi muda Jawa terhadap kebudayaanya sendiri yang pada dasarnya merupakan salah satu ciri dari kepribadian bangsa Indonesia.
Keadaan yang demikian disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti, media sosial (keluarga, kelompok bermain, sekolah, lingkungan kerja, dan media massa) kurang mendukung terhadap masalah pemeliharaan kebudayaan aslinya sendiri. Sehingga secara tidak disadari mereka ini lambat-laun meninggalkan kebudayaannya sendiri dan lebih memperhatikan kebudayaan negara lain. Semua ini dapat menyebabkan terdegradasinya kebudayaan asli negara Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu upaya untuk melestarikan budaya asli Indonesia, utamanya kebudayaan Jawa yang mana di Jawa lah terdapat corak khas kebudayaan Indonesia. Upaya pelestarian budaya asli tersebut perlu didukung oleh pemerintah selaku pemangku sistem pemerintahan. Selain itu perlu adanya sosialisasi dari pemerintah kepada generasi muda melalui semacam seminar, training maupun wahana lain yang dapat menunjang pengarahan untuk upaya pelestarian kebudyaan milik sendiri. Karena tidak mungkin suatu budaya dapat langgeng tanpa ada upaya pengantisipasian dari semua pihak yang bersangkutan, utamanya pemerintah.

B.   PEMBAHASAN
Seiring berjalanya waktu, dunia semakin berubah dengan beranekaragam inovasinya. Masyarakat sedang dilanda sebuah proses perubahan yang dinamakan globalisasi. Teknologi dan pendidikan menjadi dominan dalam setiap seluk-beluk kehidupan. Indonesia juga tak luput dari proses perkembangan global yang disebut globalisasi itu. Nilai-nilai kebudayaan Indonesia, terlebih kebudayaan Jawa semakin digeser dan digantikan dengan kebudayaan asing. Tatanan hidup sosial sudah bergeser dan bahkan digantikan dengan tatanan hidup dari bangsa lain dan bagi kita sekarang ini kebudayaan Jawa terasa sangat asing.
Pergeseran nilai kebudayaan Jawa ini semakin terasa setelah munculnya Boy Band dan Girl Band ke negeri ini. Kedatangannya mampu merenggut penggemar yang sangat banyak terutama dari golongan generasi muda Jawa. Sehingga para generasi muda ini terkosongkan dari kandungan moral karena mereka lebih suka menirukan gaya hidup dari para personil Boy Band dan Girl Band tersebut daripada kebudayaannya sendiri. Yang pada dasarnya semua itu menyimpang jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan Jawa. Sehingga kebudayaan baru tersebut mengakibatkan kebudayaan Jawa semakin kehilangan identitasnya sebagai sebuah kebudayaan rumpun Indonesia.

1.      Kebudayaan Jawa
Sebelum kita mempelajari tentang kebudayaan Jawa, lebih afdolnya kita paham terlebih dahulu pengertian dari kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dipaparkan beberapa pengertian kebudayaan supaya lebih memudahkan kita dalam memahami kebudayaan Jawa.
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture, yang berasal dari kata Latin colera, yaitu mengolah atau mengerjakan. Sedangkan menurut bahasa Sansekerta, budaya atau kebudayaan berasal dari kata buddayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Menurut ahli antropologi E.B. Tailor mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Prasetya dkk. 1991:29).
Definisi lain dikemukakan oleh Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi  mengungkapkan bahwasanya kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Soekanto, 2007:151). Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan yang bersifat kebendaan. Hal ini diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk kepentingan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan norma dan nilai masyarakat yang diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan alam yang di dalamnya termasuk, agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan pikir dari orang yang hidup bermasyarakat untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Semuanya baik karya, rasa dan cipta dikuasai oleh kehendak dari orang-orang yang menentukan kegunaannya, agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar, bahkan seluruh masyarakat.
Menurut Moeljanto dan Taufiq (1995:161) “Kebudayaan adalah perjuangan manusia sebagai totalitas dalam penyempurnaan kondisi-kondisi hidupnya”.
Dari berbagai definisi tersebut kelihatanya berbeda-beda, namun sebenarnya memiliki prinsip yang sama, yaitu sama-sama mengakui adanya ciptaan manusia. Oleh karena itu, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Jadi, kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang berkembang di pulau Jawa yang merupakan hasil buah budi penduduk asli Jawa untuk mencapai kesempurnaan dalam menjalani sebuah kehidupan mereka dan dilaksanakan secara terus-menerus sehingga menjadi sebuah tradisi dalam kehidupan mereka serta mewariskannya kepada generasi penerusnya secara turun-temurun.
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu dari kebudayaan nasional Indonesia yang tergolong dari kebudayaan Timur, harus mementingkan kerohanian, perasaan, gotong-royong, bertentangan dengan kebudayaan Barat yang mementingkan materi, intelektualisme, dan individualisme (Sulaeman, 1998:42).
Nilai budaya Jawa pada intinya sama dengan nilai budaya Timur yang banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur. Manusia-manusia Timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi, oleh karena itu berpikir secara timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis (Sulaeman, 1998:38). Jadi, inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada intelektualnya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta perasaan. Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.
Dalam hal menegakkan norma, kebudayaan Jawa tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide abstrak atau simbolik pun dapat terwujud kongkret dalam praktek kehidupanya (adat istiadat). Masyarakat Jawa itu memiliki kepribadian yang sopan dalam hal berpakaian maupun dalam hal bertutur kata, ramah-tamah, sederhana, serta lebih mangutamakan kebersamaan daripada keindividuan.

2.      Boy Band dan Girl Band
Boy Band dan Girl Band merupakan sebuah musik K-Pop (Korean Pop) yaitu musik pop Korea yang merupakan penggabungan dari suara yang bagus dan dance. Jadi, selain memiliki suara yang bagus para personil Boy Band dan Girl Band juga memiliki kemampuan dance (dansa) yang bagus pula.
Menurut data dari beberapa situs di internet misalnya Wikipedia yang alamatnya http://id.wikipedia.org/wiki/Boy_band mengatakan bahwa Boy Band dan Girl Band mengalami masa keemasanya sejak tahun 90-an yang mana dipelopori oleh grup Soe Taiji dan Boys dengan tipe aliran musik rap, rock, techno Amerika dan disertai dengan dance pada saat pementasannya.
Kesuksesan grup Soe Taiji dan Boys ini memberikan motivator bagi para musisi Korea yang lain untuk mengikuti jejaknya, sehingga banyak grup Boy Band dan Girl Band yang bermunculan pascaketenaran grup Soe Taiji dan Boys tersebut. Misalnya, grup Panic, Deux, CLON, H.O.T, Sechs Kies, S.E.S, dan g.o.d.
Perkembangan dari para grup Boy Band dan Girl Band tersebut sangat pesat hingga meluas ke luar Korea, seperti Amerika, Jepang, Cina, bahkan mencapai ke negara Indonesia.
Dewasa ini musik K-Pop menjadi musik yang paling laku di pasaran hiburan Internasional, apalagi di Indonesia, demam K-Pop sudah melanda di seluruh daerah baik perkotaan maupun pedesaan. Fenomena ini sangat menyesakkan, bahkan sekarang ini musik K-Pop khususnya Boy Band dan Girl Band menjadi kiblat bagi para musisi Indonesia untuk membentuk grup Boy Band atau Girl Band ala Indonesia yang bercorakkan ke Korea-Koreaan dengan harapan akan laku keras di pasaran karena sesuai dengan apa yang sedang digandrungi pasar. Buktinya, sekarang ini banyak bermunculan Boy Band dan Girl Band dari kalangan pemuda Indonesia misalnya, Sm*sh, Super 9 Boys, Hitz, Max Five, Cherrybelle, Seven Icon, Six Star, dan masih banyak lagi grup-grup yang lainya.

3.      Respon Generasi Muda Jawa terhadap Boy Band dan Girl Band
Globalisasi merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi kita di zaman yang modern ini, keberadaanya sudah tidak bisa terelakkan lagi di negara Indonesia ini, khususnya di pulau Jawa yang sangat padat penduduknya dibandingkan dengan pulau-pulau yang lainya. Globalisasi ini memberikan dampak yang sangat memprihatinkan bagi generasi muda terhadap perkembangan kebudayaan Jawa, apalagi sejak munculnya Boy Band dan Girl Band di Indonesia yang mampu merebut sebagian besar penggemarnya di kalangan pemuda Jawa menambah semakin parahnya dampak yang diberikan terhadap perubahan lingkungan dan kebudayaan negara Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa.
Sejak munculnya Boy Band dan Girl Band ke Indonesia perhatian para pemuda Jawa telah dibelokkan yang seharusnya mereka melestarikan kebudayaanya sendiri kini telah berpindah lebih memperhatikan kebudayaan negara lain. Generasi muda Jawa baik dari golongan pria maupun wanita sangat mengidolakan para personil Boy Band dan Girl Band, sampai-sampai mereka ingin menjadi seperti para personil Boy Band dan Girl Band sehingga mereka meniru gaya hidup para idolanya tersebut, mulai dari cara berpakaian, gaya rambut, bahasa, bahkan sampai aksesoris yang mereka kenekan pun sama dengan aksesoris yang dikenakan para idolanya tersebut.
Generasi muda Jawa sekarang ini lebih menggemari lagu-lagu yang dibawakan oleh Boy Band dan Girl Band misalkan saja lagu-lagu yang dinyanyikan Boy Band Super Junior (Suju) dari Korea daripada lagu-lagu campursari maupun keroncong. Mereka lebih mengenali nama-nama personil Boy Band dan Girl Band daripada nama-nama penyanyi campursari maupun keroncong. Bahkan bahasa Jawa manjadi bahasa yang ke sekian di bawah bahasa Inggris dan Korea yang dewasa ini sangat digemari oleh generasi muda Jawa.
Kaberadaan Boy Band dan Girl Band di Indonesia ini sangat pesat perkambanganya karena hampir semua stasiun televisi menayangkannya bahkan sebagian dari stasiun televisi telah mengadakan audisi Boy Band dan Girl Band. Misalnya, beberapa bulan yang lalu stasiun televisi indosiar mengadakan audisi Boy Band dan Girl Band Indonesia yang menyediakan hadiah hingga mencapai puluhan juta rupiah bagi para pemenang audisi tersebut. Semua itu dapat menarik perhatian para pemuda Jawa untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Di samping itu, ketenaran namanya di muka publik pun menjadi salah satu pemicu generasi muda Jawa untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Dengan demikian, secara tidak disadari kebudayaan Jawa telah dikesampingkan oleh generasi muda Jawa yang seharusnya merekalah yang menjadi pewaris sekaligus penerus dari kebudayaan Jawa kini telah melalaikanya. Hal ini semakin kelihatan ketika generasi muda Jawa mulai tidak mengenali lagi kebudayaan Jawa bahkan mereka merasa asing dengan kebudayaannya sendiri.
Begitulah pengaruh negatif yang diakibatkan oleh munculnya Boy Band dan Girl Band ke negara Indonesia ini, sehingga banyak kalangan, terutama generasi muda Jawa salah tafsir terhadap realita yang terjadi dalam kehidupan yang sekarang ini. Mereka mempunyai pandangan bahwa apa yang datang dan berasal dari Barat adalah modern, segala yang datang dan berasal dari Barat adalah baik dan lebih ironisnya lagi mereka lebih bangga menirukan kebudayaan Barat daripada kebudayaan aslinya karena mereka menganggap kebudayaan Jawa itu ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan konteks kaum muda zaman modern serta tidak dapat memberikan percepatan realisasi dalam menggapai impiannya. Semua ini dapat menurunkan nilai kebudayaan Jawa di mata dunia.

4.      Faktor Penyebab Terdegradasinya Nilai Kebudayaan Jawa Pascamunculnya Boy Band dan Girl Band
Berbicara tentang faktor yang menyebabkan terdegradasinya nilai kebudayaan Jawa pascamunculnya Boy Band dan Girl Band ini sangat erat hubungannya dengan media sosialisasi karena apabila media sosialisasi itu memberikan pengaruh yang positif terhadap generasi muda Jawa maka pelestarian kebudayaan Jawa itu pun akan tetap terlaksana dengan baik sampai sekarang ini. Akan tetapi, apabila media sosialisasi itu tidak memberikan dukungan dan pewarisan kepada generasi mudanya maka pelestarian kebudayaan Jawa pun mengalami kepincangan dan bahkan dapat terjadi yang namanya degradasi kebudayaan yang dapat menghilangkan ciri khas kebudayaan Jawa.
Beberapa media sosialisasi yaitu: keluarga, kelompok, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial, dan media massa (Setiadi dan Kolip, 2011:176).
Peran beberapa media sosialisasi di atas pada realita dalam kehidupan yang modern ini kurang mengarah pada proses transformasi dan pengembangan kebudayaan Jawa kepada khalayak umum khususnya pada generasi muda yang nantinya akan mewarisi kebudayaan tersebut.
Dilihat dari faktor keluarga, dewasa ini orang tua kurang mementingkan adanya sosialisasi kebudayaan Jawa kepada putra-putrinya, bahkan seakan-akan orang tua acuh tak acuh terhadap wawasan kebudayaan anaknya. Sehingga pewarisan kebudayaan milik sendiri yang semestinya diwariskan oleh orang tua kepada anaknya kini tampak memudar.
Sedangkan jika ditinjau dari aspek interaksi dalam suatu kelompok, generasi muda sekarang ini kurang menghiraukan terhadap urgensi wawasan kebudayaan yang semestinya dapat mereka kaji bersama dalam kelompok tersebut, sehingga terjadi pertukaran pengatahuan kebudayaan antar individu. Namun kenyataanya, yang mereka kaji justru hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebudayaan bahkan terkesan omong kosong dan tanpa alur serta tema yang jelas.
Dalam lingkungan pendidikan pun di zaman yang modern ini kurang begitu memperhatikan terhadap pelestarian nilai kebudayaan kepada anak didiknya. Materi-materi yang diberikan kepeda anak didiknya yang terkait dengan kebudayaan Jawa sekarang ini sangat jarang ditemukan di berbagai sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan beberapa tempat pendidikan yang lainya.
Pendidikan yang berkembang sekarang ini lebih mengedepankan pendidikan yang bersifat materiil, sedangkan pendidikan yang berbasis pembangunan  karakter kurang begitu diperhatikan. Jadi, rasa percaya diri generasi muda terhadap kebudayaan Jawa seakan-akan tidak ada bahkan acuh tak acuh terhadap perkembangan kebudaanya sendiri.
Ditambah lagi dengan linkungan sosial dan media massa yang berkembang sekarang ini kurang mendukung terhadap pelestarian kebudayaan Jawa menambah semakin cepatnya kebudayaan ini terdegradasi. Karena media massa sekarang ini lebih dominan menayangkan fenomena-fenomena yang sedang trend di kalangan generasi muda. Misalnya, fenomena Boy Band dan Girl Band yang sedang marak di berbagai media massa sekarang ini memberikan dampak yang begitu besar terhadap perubahan dan pergeseran kebudayaan Jawa, sebab generasi muda sangat rentan melakukan segala sesuatu yang sering mereka lihat yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Jadi, apabila lingkungannya mendukung dalam proses pelestarian kebudayaan Jawa, maka generasi muda pun akan turut serta melestarikan kebudayaan Jawa. Sedangkan apabila kondisi lingkungannya tidak mendukung terjadinya proses pelestarian kebudayaan Jawa, maka generasi muda pun akan enggan melestarikan kebudayaan Jawa.
Namun dalam kenyataanya, lingkungan yang terjadi di sekitar pemuda sekarang ini tidak memberikan pembelajaran tentang kebudayaan Jawa, melainkan lebih kepada kebudayaan pendatang yang notabene menyimpang jauh dari kebudayaan Jawa yang berbasis karakter apik. Sehingga para pemuda lebih dominan meniru kebudayaan pendatang daripada kebudayaanya sendiri. Dan lebih parah lagi, dalam proses meniru kebudayaan pendatang tersebut, generasi muda Jawa tidak menyeleksi terlebih dahulu terhadap kebudayaan itu, apakah sesuai dengan nilai kebudayaan Jawa atau tidak.
Semua ini merupakan faktor yang dapat menjadikan kebudayaan Jawa ini semakin diagnggap asing bagi para generasi muda Jawa serta dapat menjadikan kebudayaan Jawa ini terdegradasi oleh kebudayaan pendatang.

5.      Cara Menanggulangi Terjadinya Degradasi Nilai Kebudayaan Jawa Pascamunculnya Boy Band dan Girl Band
Untuk menanggulangi terjadinya degradasi nilai kebudayaan Jawa yang diakibatkan karena maraknya fenomena Boy Band dan Girl Band di Indonesia khususnya di pulau Jawa, menurut dari hasil diskusi tentang terdegradasinya nilai kebudayaan Jawa pascamunculnya Boy Band dan Girl Band dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa usaha yang dapat dilaksanakan yaitu:
a.       Pemerintah mendirikan organisai resmi yang mengurusi masalah-masalah  kebudayaan Jawa.
b.      Sering mengadakan lomba yang berbaur dengan kebudayaan Jawa misalnya, lomba seni tari tradisional Jawa, fasion show pakain adat Jawa, lomba menyanyi lagu Jawa, dan lain sebagainya.
c.       Mengadakan ekstrakurikuler tentang kebudayaan Jawa di berbagai lembaga-lembaga sosial misalnya, di sekolah-sekolah, universitas-universitas, atau di lembaga-lembaga sosial lain yang ada di masyarakat. 
d.      Mengoptimalkan pendidikan kebudayaan daerah sendiri di lingkungan sekolah dan terutama di lingkungan keluarga.
e.       Memberikan motivasi dan pengertian kepeda generasi muda bahwasanya kebudayaan sendiri itu lebih baik dari kebudayaan lain dengan catatan tidak menjelek-jelekkan budaya lain.
f.       Mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan berbasis karakter suatu bangsa di lingkungan manapun, karena dengan pendidikan karakter ini generasi muda Jawa lebih bermartabat dan lebih percaya diri kepada kebudayaanya sendiri. Sehingga mereka akan enggan meniru kebudayaan barat yang notabene menyimpang jauh dari kebudayaan Jawa yang berbasis karakter apik.

C.   PENUTUP
Kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa dan cipta masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Jadi, kebudayaan ini selalu berkembang dan mengalami perubahan seiring dengan perkambangan zaman dan manusianya sendiri dalam masyarakat tertentu.
Di era globalisasi ini, nampaknya kebudayaan Jawa mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan, salah satu penyebabnya yaitu munculnya Boy Band dan Girl Band ke Indonesia. Keduanya merupakan budaya (pendatang) dari Barat yang dewasa ini sangat diidolakan oleh generasi muda di pulau Jawa, bahkan seluruh Indonesia. Mereka sangat menginginkan menjadi seperti apa yang diidolakannya, sehingga para generasi muda itu menirukan gaya hidup dari para personil Boy Band dan Girl Band tersebut. Dengan demikian, perhatian generasi muda terhadap kebudayaan Jawa mulai melemah yang seharusnya generasi mudalah yang menjaga dan melestarikan kebudayaan Jawa, kini berbelok lebih memperhatikan kebudayaan negara lain. Semua ini merupakan penyebab terjadinya degradasi kebudayaan Jawa. Untuk itu, perlu adanya upaya menanggulangi peristiwa tersebut. Adapun beberapa usaha yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya degradasi kebudayaan Jawa yaitu: mendirikan organisasi-organisasi yang mengurusi kebudayaan Jawa, mengadakan perlombaan yang berbaur dengan kebudayaan Jawa, mengoptimalkan pendidikan kebudayaan sendiri di berbagai lingkungan sosial, dan yang paling penting adalah pengoptimalan terhadap pelaksanaan pendidikan berbasis karakter suatu bangsa di lingkungan manapun, karena dengan pendidikan karakter ini generasi muda Jawa lebih bermartabat dan lebih percaya diri kepada kebudayaanya sendiri. Sehingga mereka akan enggan meniru kebudayaan barat yang notabene menyimpang jauh dari kebudayaan Jawa yang berbasis karakter apik.
Selain daripada itu, untuk menjaga kelestarian kebudayaan Jawa di zaman yang modern ini, bagi generasi muda dalam memilih perkembangan pembaruan atau kebudayaan yang berasal dari Barat harus melakukan seleksi terlebih dahulu terhadap kebudayaan tersebut, sesuai atau tidakkah kebudayaan tersebut dengan nilai-nilai kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya di pulau Jawa.
Kemudian pendidikan akan kebudayaan Jawa harus dilaksanakan setiap orang tua kepada anak-anaknya, agar nilai kebudayaan Jawa tetap lestari dan tidak terdegradasi dengan adanya kebudayaan yang dibawa oleh globalisasi. Disamping itu, pemerintah juga harus mendukung secara penuh terhadap usaha pelestarian kebudayaan tersebut supaya nilai kebudayaan ini tetap terjaga dan lestari secara berkelanjutan dari generasi ke generasi.
DAFTAR PUSTAKA

Muljanto dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya. Bandung: Mizan.
M.Setiadi, Elly dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana.
Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo.
Sulaeman, Munandar. 1998. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Tri Prasetyo, Joko dkk. 1991. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.