Kamis, 19 September 2013

Menghidupkan Sistem Demokrasi

Meski Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim telah usai. Tapi, hampir setiap hari beberapa media baik cetak maupun elektronik selalu memuat berita tentang Pilgub Jatim tersebut. Bukan masalah prapesta demokrasi yang diberitakan di dalam media tersebut. Seperti kampanye dari berbagai pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub), adu debat antar pasangan Cagub dan Cawagub, ikrar berbagai janji dari pasangan Cagub dan Cawagub, dan beberapa hal yang lainnya. Melainkan, berita tentang tim kampanye Khofifah-Herman (BerKah) yang melaporkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) telah melakukan praktek money politic saat menggelar kampanye di Tulungagung kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jatim.

Berbicara masalah money politic, penulis teringat sekaligus terusik dengan adanya tragedi “kampungan” dalam sebuah pesta demokrasi yang telah berlalu. Kurang lebih satu bulan yang lalu, tepatnya pada saat musim Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di beberapa desa di wilayah Jatim. Penulis mendapatkan beberapa informasi yang sangat memprihatinkan terkait dengan pelaksanaan Pilkades tersebut.

Pada saat itu, beberapa teman seperantauan penulis yang desanya sedang mengadakan Pilkades menyempatkan dirinya untuk pulang kampung. Guna untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia pada saat pemilihan umum tiba (menggunakan hak pilihnya). Kemudian, setelah pelaksanaan pesta demokrasi itu selesai, mereka kembali lagi ke kota perantauan. Kemudian, mereka menceritakan segala sesuatu yang telah terjadi di desa mereka masing-masing pada saat musim Pilkades tersebut berlangsung kepada penulis.

Dari cerita teman-teman penulis tersebut, ternyata dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pesta demokrasi di negara kita ini masih dikelabui dengan kecurangan. Misalnya, setiap calon pemilih diberi (disogok) “uang” oleh tim sukses dari beberapa pasangan Calon Kepala Desa (Kades) dan Wakil Kepala Desa (Wakades). Di samping itu, ada juga tim sukses dari pasangan Calon Kades dan Wakades yang memberikan beberapa macam makanan sembako (beras, minyak goreng, gula, teh, dll) kepada calon pemilih. Dan, ada juga tim sukses dari beberapa pasangan Calon Kades dan Wakades yang sengaja membeli “kartu pemilih” dari penduduk yang tidak ada di rumah atau yang sudah tua (tidak kuat menuju TPS). Kemudian, kartu pemilih tersebut diberikan kepada orang lain (orang pengganti) agar memilih pasangan Calon Kades dan Wakades yang mereka (para tim sukses) inginkan.

Di negara kita saat ini, peristiwa seperti yang telah terjadi di atas sudah menjadi rahasia umum dan bahkan sudah menjadi kebudayaan di setiap pesta demokrasi tiba. Sistem demokrasi yang seharusnya kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat itu didapat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kini telah berubah menjadi dari orang-orang kapitalisme, oleh orang-orang kapitalisme dan untuk orang-orang kapitalisme. Sehingga, tidak mustahil jika setiap kebijakan yang diambil oleh para petinggi negara kita tercinta di dalam memecahkan suatu masalah selalu mengarah kepada kesejahteraan orang-orang besar, sementara masyarakat kecil selalu dirugikan dan dikesampingkan. Pada akhirnya aksi demonstrasi yang merusak berbagai fasilitas negaralah yang dihasilkan. Ironis bukan?

Sistem pemerintahan demokrasi di negara kita saat ini seakan telah mati. Betapa tidak, pemilihan umum (Pemilu) yang menjadi ciri khas dari sistem demokrasi itu sendiri sekarang telah disetir oleh orang-orang yang bermodal. Mana yang uangnya banyak itulah yang menang. Buktinya, pemilihan di tingkat desa saja praktek money politic dilakukan secara blak-blakan. Kartu pemilih dibeli, setiap calon pemilih disogok, dan beberapa cara busuk lain dilakukan guna untuk mencari kekuasaan belaka, sementara pengabdian kepada masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas utama oleh para calon wakil rakyat malah dikesampingkan. Di samping itu, kematian sistem demokrasi di negara kita saat ini diperparah lagi dengan tingginya angka Golongan Putih (Golput) pada saat persta demokrasi digelar.

Dua hal (money politic dan golput) inilah yang menjadi permasalahan terbesar di setiap pesta demokrasi digelar. Dalam menghadapi permasalahan ini, kita semata-mata tidak bisa menyalahkan masyarakat secara langsung. Hukum kausalitas dalam hal ini sangatlah mempengaruhi. Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini selalu ada sebab dan akibatnya. Oleh karena itu, terjadinya dua hal tersebut pasti ada sebab yang mempengaruhinya.

Terjadinya money politic dan golput ini tidak lain karena adanya rasa “kecewa” dari rakyat terhadap para “wakil rakyat” yang telah mereka pilih. Kekecewaan ini diakibatkan karena para wakil rakyat yang telah mereka pilih tidak memenuhi semua janjinya. Dan pada akhirnya, rakyat lebih memilih golput atau memilih para calon wakil rakyat yang memberinya uang atau beberapa kebutuhan pokok lainnya. Rakyat sekarang ini telah dikelabui dengan perasaan “sama saja” terhadap para calon wakil rakyat yang akan mereka pilih. Sama saja mengingkari janji-janjinya. Oleh karenanya, tragedi “kampungan” tersebut selalu menghantui disetiap pesta demokrasi digelar di bumi pertiwi ini.

Walhasil, untuk menghindari semua penyimpangan tersebut diperlukan adanya sebuah keseimbangan diantara pemilih dan yang dipilih. Dalam hal ini rakyat dan para wakil rakyat yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat. Para wakil rakyat yang telah terpilih, seharusnya bekerja dengan sekuat tenaga dalam mewujudkan semua janji yang telah mereka ikrarkan kepada rakyat pada saat kampanye, bukan hanya mengobral janji palsu guna meraup kebahagiaan pribadi atau golongan saja. Dengan semua ini, kekecewaan rakyat secara lambat laun akan segera terobati dan sistem demokrasi yang semula telah mati akan hidup kembali. Sehingga, kesejahteraan di negara kita ini benar-benar berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan saja.

Semoga, semua ini dapat terwujud pada pesta demokrasi tahun 2014 mendatang. Amiin.

Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) sekaligus Aktivis di Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM). Tulisan ini pernah dimuat di Koran Madura: 18 September 2013.