Meski Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim telah usai. Tapi, hampir
setiap hari beberapa media baik cetak maupun elektronik selalu memuat berita tentang
Pilgub Jatim tersebut. Bukan masalah prapesta demokrasi yang diberitakan di
dalam media tersebut. Seperti kampanye dari berbagai pasangan Calon Gubernur (Cagub)
dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub), adu debat antar pasangan Cagub dan Cawagub,
ikrar berbagai janji dari pasangan Cagub dan Cawagub, dan beberapa hal yang
lainnya. Melainkan, berita tentang tim kampanye Khofifah-Herman (BerKah) yang
melaporkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) telah melakukan praktek money
politic saat menggelar kampanye di Tulungagung kepada Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) Jatim.
Berbicara masalah money politic, penulis teringat sekaligus
terusik dengan adanya tragedi “kampungan” dalam sebuah pesta demokrasi yang
telah berlalu. Kurang lebih satu bulan yang lalu, tepatnya pada saat musim
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di beberapa desa di wilayah Jatim. Penulis
mendapatkan beberapa informasi yang sangat memprihatinkan terkait dengan
pelaksanaan Pilkades tersebut.
Pada saat itu, beberapa teman seperantauan penulis yang desanya
sedang mengadakan Pilkades menyempatkan dirinya untuk pulang kampung. Guna untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia pada saat pemilihan
umum tiba (menggunakan hak pilihnya). Kemudian, setelah pelaksanaan pesta
demokrasi itu selesai, mereka kembali lagi ke kota perantauan. Kemudian, mereka
menceritakan segala sesuatu yang telah terjadi di desa mereka masing-masing
pada saat musim Pilkades tersebut berlangsung kepada penulis.
Dari cerita teman-teman penulis tersebut, ternyata dapat
disimpulkan bahwa penyelenggaraan pesta demokrasi di negara kita ini masih
dikelabui dengan kecurangan. Misalnya, setiap calon pemilih diberi (disogok)
“uang” oleh tim sukses dari beberapa pasangan Calon Kepala Desa (Kades) dan
Wakil Kepala Desa (Wakades). Di samping itu, ada juga tim sukses dari pasangan Calon
Kades dan Wakades yang memberikan beberapa macam makanan sembako (beras, minyak
goreng, gula, teh, dll) kepada calon pemilih. Dan, ada juga tim sukses dari
beberapa pasangan Calon Kades dan Wakades yang sengaja membeli “kartu pemilih”
dari penduduk yang tidak ada di rumah atau yang sudah tua (tidak kuat menuju
TPS). Kemudian, kartu pemilih tersebut diberikan kepada orang lain (orang
pengganti) agar memilih pasangan Calon Kades dan Wakades yang mereka (para tim
sukses) inginkan.
Di negara kita saat ini, peristiwa seperti yang telah terjadi di
atas sudah menjadi rahasia umum dan bahkan sudah menjadi kebudayaan di setiap
pesta demokrasi tiba. Sistem demokrasi yang seharusnya kedaulatan dan
kesejahteraan masyarakat itu didapat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kini telah berubah menjadi dari orang-orang kapitalisme, oleh orang-orang
kapitalisme dan untuk orang-orang kapitalisme. Sehingga, tidak mustahil jika
setiap kebijakan yang diambil oleh para petinggi negara kita tercinta di dalam
memecahkan suatu masalah selalu mengarah kepada kesejahteraan orang-orang
besar, sementara masyarakat kecil selalu dirugikan dan dikesampingkan. Pada
akhirnya aksi demonstrasi yang merusak berbagai fasilitas negaralah yang
dihasilkan. Ironis bukan?
Sistem pemerintahan demokrasi di negara kita saat ini seakan telah
mati. Betapa tidak, pemilihan umum (Pemilu) yang menjadi ciri khas dari sistem
demokrasi itu sendiri sekarang telah disetir oleh orang-orang yang bermodal. Mana
yang uangnya banyak itulah yang menang. Buktinya, pemilihan di tingkat desa
saja praktek money politic dilakukan secara blak-blakan. Kartu
pemilih dibeli, setiap calon pemilih disogok, dan beberapa cara busuk lain
dilakukan guna untuk mencari kekuasaan belaka, sementara pengabdian kepada
masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas utama oleh para calon wakil rakyat
malah dikesampingkan. Di samping itu, kematian sistem demokrasi di negara kita
saat ini diperparah lagi dengan tingginya angka Golongan Putih (Golput) pada
saat persta demokrasi digelar.
Dua hal (money politic dan golput) inilah yang menjadi permasalahan
terbesar di setiap pesta demokrasi digelar. Dalam menghadapi permasalahan ini,
kita semata-mata tidak bisa menyalahkan masyarakat secara langsung. Hukum
kausalitas dalam hal ini sangatlah mempengaruhi. Segala sesuatu yang terjadi di
muka bumi ini selalu ada sebab dan akibatnya. Oleh karena itu, terjadinya dua
hal tersebut pasti ada sebab yang mempengaruhinya.
Terjadinya money politic dan golput ini tidak lain karena
adanya rasa “kecewa” dari rakyat terhadap para “wakil rakyat” yang telah mereka
pilih. Kekecewaan ini diakibatkan karena para wakil rakyat yang telah mereka
pilih tidak memenuhi semua janjinya. Dan pada akhirnya, rakyat lebih memilih
golput atau memilih para calon wakil rakyat yang memberinya uang atau beberapa
kebutuhan pokok lainnya. Rakyat sekarang ini telah dikelabui dengan perasaan
“sama saja” terhadap para calon wakil rakyat yang akan mereka pilih. Sama saja
mengingkari janji-janjinya. Oleh karenanya, tragedi “kampungan” tersebut selalu
menghantui disetiap pesta demokrasi digelar di bumi pertiwi ini.
Walhasil, untuk menghindari semua penyimpangan tersebut diperlukan
adanya sebuah keseimbangan diantara pemilih dan yang dipilih. Dalam hal ini
rakyat dan para wakil rakyat yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat. Para
wakil rakyat yang telah terpilih, seharusnya bekerja dengan sekuat tenaga dalam
mewujudkan semua janji yang telah mereka ikrarkan kepada rakyat pada saat
kampanye, bukan hanya mengobral janji palsu guna meraup kebahagiaan pribadi atau
golongan saja. Dengan semua ini, kekecewaan rakyat secara lambat laun akan
segera terobati dan sistem demokrasi yang semula telah mati akan hidup kembali.
Sehingga, kesejahteraan di negara kita ini benar-benar berasal dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh
segelintir orang yang memiliki kekuasaan saja.
Semoga, semua ini dapat terwujud pada pesta demokrasi tahun 2014 mendatang.
Amiin.
Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) sekaligus Aktivis di Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM). Tulisan ini pernah dimuat di Koran Madura: 18 September 2013.