Jumat, 25 Oktober 2013

Meneropong Bahasa "Intelek" Vicky


Kurang lebih sebulan lalu, dimana seluruh media massa heboh memberitakannya. Video koplak bahasa “intelek” Vicky hingga sekarang ini masih cukup eksis di lingkungan para artis tanah air, bahkan masyarakat umum. Akhir-akhir ini, video koplak tersebut diedit menjadi sebuah video yang sangat unik bin lucu. Bahasa “intelek” Vicky dikolaborasikan dengan video Arya Wiguna dan Farhat Abbas.

Sebelum melangkah lebih jauh dalam memahami bahasa “intelek” Vicky, alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan bahasa. Secara umum, bahasa adalah suara (bunyi) yang menunjukkan atau mengabarkan segala sesuatau yang dikehendaki oleh seseorang kepada suatu kamunitas (objek bahasa). Jadi, bahasa tidak akan pernah ada jika tanpa komunitas (masyarakat). Bahasa itu bersifat arbitrer. Artinya, bahasa itu bersifat mengikat, tidak bisa diganggu gugat dan segala sesuatunya telah ditetapkan dan disepakati oleh masyarakat umum.

Mengujarkan bahasa kepada objek bahasa (berbahasa/berkomunikasi) tidak boleh semaunya. Semua ada aturannya. Misalnya, kita ingin mengatakan suatu benda A yang telah disepakati oleh masyarakat umum. Tapi, di dalam berkamunikasi kita menggantinya dengan kalimat yang berbeda tanpa adanya persetujuan dari masyarakat umum, misalkan saja B. Akibatnya, semua orang yang kita ajak berkomunikasi pasti akan bingung. 

Berbicara masalah bahasa “intelek” Vicky yang menuai banyak kontroversi ini, dalam perspektif ilmu psikolinguistik semua itu tidak bisa terlepas dari adanya hukum kausalitas. Segala sesuatu yang terjadi di bumi ini pasti ada sebab-akibatnya. Dalam hal ini, semua bahasa yang telah diujarkan oleh Vicky Prasetyo itu pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Karena, berbahasa atau berkomunikasi adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya (Abdul Chaer, 2009).

Wilhelm Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, di dalam teorinya mengatakan bahwa bahasa dan pemikiran manusia itu memiliki ketergantungan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, mengenai bahasa itu sendiri, ia berpendapat bahwa substansi  bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).

Dari keterangan itu, dapat kita simpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran atau perasaan adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk-dalam bahasa berada di dalam otak atau perasaan seorang pengujar bahasa tersebut. Dalam kaitanya dengan bahasa “intelek”nya Vicky, bahasa yang menuai banyak kontroversi itulah yang dimaksud dengan bentuk-luar bahasa, sedangkan bentuk-dalamnya yaitu amburadulnya pemikiran atau perasaan Vicky pada saat mengucapkan kata-kata kontroversi tersebut. 

Buktinya, beberapa hari kemudian pascavideo kocaknya itu beredar di berbagai media massa, semua kasus keburukannya terungkap. Vicky ditangkap oleh pihak kepolisian akibat tersandung kasus pemalsuan sertifikat tanah. Selama satu tahun terakhir, ternyata dia telah tercatat sebagai buronan polisi. Kemudian, terungkapnya sifat play boy yang dimilikinya. 

Lebih luas lagi, Dr. Abdulmajid Akhmad Mansyur (1982) di dalam kitabnya yang berjudul Ilmu Al-lughoh An-nafsi mengatakan bahwa pikiran itu dapat mempengaruhi bahasa seseorang. Begitu juga sebaliknya, bahasa pun juga dapat mempengaruhi pikiran seseorang. Sejalan dengan Abdulmajid, Benjamin Lee Whorf berpendapat bahwa sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, suatu program kegiatan mental dan penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang. 

Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya bahasa “intelek” Vicky yang menuai banyak kontroversi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pikiran atau perasaan yang penuh dengan masalah saja. Tapi, kemungkinan besar ada suatu unsur lain yang diinginkan oleh pengujar dari bahasa tersebut. Misalnya, si pengujar bahasa tersebut menginginkan pengakuan dari masyarakat bahwa dirinya itu merupakan seorang yang berintelektual tinggi, pandai, pintar, jenius. Sebab, kualitas bahasa dari seorang pengujar bahasa itu merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan dari orang yang mengucapkan bahasa itu sendiri (Abdulmajid, 1982).

Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Radar Surabaya: 20 Oktober 2013.

Selasa, 08 Oktober 2013

Memetik Hikmah Dilema Tragedi G 30S/PKI


Beberapa abad yang lalu, pada tahun 1965, negara kita pernah diguncang tragedi yang sangat memilukan sejarah dan catatan perjalanan bangsa. Tragedi itu dinamakan dengan Gerakan 30 September 1965 atau sering disebut dengan G 30S/PKI. Pada saat itu, para Jenderal dan Petinggi Angkatan Darat dibunuh secara sadis dan tidak berperikemanusiaan, banyak rakyat yang tak tahu-menahu tentang segala sesuatu ikut dibantai dengan penuh kekejaman. 

Sampai detik ini, sejarah tentang tragedi G 30S/PKI belum menemukan titik terang. Masih diselimuti dengan kabut ketidakjelasan. Semuanya terjadi karena sepanjang perjalanannya para sejarawan belum menemukan bukti-bukti yang kuat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya. Sehingga, sampai saat ini pun kita hanya dapat merasakan dilema tentang tragedi G 30S/PKI.

Selama ini, terdapat dua macam versi sejarah tentang tragedi G 30S/PKI. Pertama, menyatakan bahwa penculikan dan pembunuhan para Jenderal dan Petinggi Angkatan Darat itu dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan dalih untuk merebut kekuasaan, kemudian Mayjen Soeharto memberantasnya dengan cepat dan jitu guna untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Sedangkan, pihak lain menyatakan bahwasanya Mayjen Soeharto justru ikut terlibat atau menjadi tersangka dalam tragedi tersebut. 

Pada saat penulis masih duduk di bangku sekolah SMP, beberapa buku pelajaran sejarah menuliskan bahwasanya PKI-lah yang menjadi dalang dalam tragedi G 30S/PKI tersebut. Dimana peristiwa itu mengingatkan kita bahwa PKI selalu berusaha mencari kesempatan untuk melakukan kudeta (perebutan kekuasaan). 

Dalam buku tersebut disebutkan bahwa D. N. Aidit menugaskan Kamaruzaman alias Syam sebagai Ketua Biro Khusus PKI untuk merancang dan mempersiapkan perebutan kekuasaan. Kemudian, Biro ini melakukan pembinaan terhadap Perwira-perwira ABRI, diantaranya adalah Brigjen Supardjo dan Letkol Untung dari TNI AD, Kolonel Sunardi dari TNI AL dan Letkol Anwas dari Kepolisian.

Pada saat itu, PKI menyadari bahwa hambatan untuk mancapai tujuannya adalah TNI AD. Oleh karenanya, pada tanggal 30 September 1965 sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965, mereka melakukan upaya penculikan sekaligus pembunuhan terhadap para Perwira Tinggi TNI AD. Selanjutnya, dalam buku tersebut juga dipaparkan bahwasanya penumpasan terhadap pemberontakan G 30S/PKI dilakukan oleh ABRI dan rakyat yang setia pada pancaslia.

Hingga akhir kekuasaan rezim Soeharto, semua orang (kecuali orang-orang yang mengetahui tapi mulutnya dibungkam secara paksa) percaya bahwa semua itu adalah perbuatan yang diotaki oleh PKI. Dan di pelajaran sejarah pun dicatatkan kronologi seperti sebagaimana penulis uraikan di atas. Namun, ketika orde reformasi dan tumbangnya rezim orde baru sepeninggal Mayjen Soeharto, dimana kebebasan berbicara terbuka lebar, mulailah terkuak satu persatu kejanggalan skenario sejarah yang selama ini dicatatkan.

Pasca lengsernya Mayjen Soeharto dari kursi kepresidenan, muncul film tentang tragedi G 30S/PKI yang menuai kentroversi. Bagaimana tidak, sejarah yang telah lama kita pelajari dan yakini, seketika berbalik 180 derajad dari sebelumnya. Kronologi sejarah dibelokkan hanya demi kekuasaan belaka. Posisi Mayjen Soeharto yang semula sebagai pahlawan yang memberantas suatu kekejaman dan kebiadaban, berbalik menjadi seorang aktor yang terlibat dalam tragedi tragis tersebut.

Selanjutnya, di dalam sebuah buku yang berjudul 44 Tahun G30S/PKI, Antara Fakta dan Rekayasa (1999), menerangkan bahwa Mayjen Soeharto mempunyai hubungan dengan CIA (sebuah badan intelejen Amerika Serikat) yang merupakan komplotan dari kelompok PKI. Hal ini terbukti dengan adanya satu Kompi Batalyon 454 Diponegoro Jawa Tengah dan satu Kompi Batalyon 530 Brawijaya Jawa Timur, yang secara terselubung digunakan Mayjen Soeharto sebagai penggerak.

Oleh karena itu, Mayjen Soeharto disebut-sebut terlibat dalam peristiwa tragis itu oleh para saksi dan sejumlah pelaku sejarah serta sejarawan, karena dinilai Mayjen Soharto mengetahui rencana penculikan para Jenderal dan Petinggi Angkatan Darat. Tapi, dia tidak berusaha mencegahnya. Inilah yang menjadi pokok permasalahan dan mengundang kontroversi selama ini. Mana yang benar? Wallahu A’lam.

Terlepas dari semua itu, sebagai penerus bangsa, seharusnya kita mampu mengambil pelajaran berharga dari sejarah G 30S/PKI tersebut. Tidak hanya memperdebatkan tentang kebenaran dari kronologi terjadinya saja, melainkan kita harus mampu berfikir lebih jauh melangkah ke depan. Yakni, mampu memetik hikmah (pelajaran) yang telah disampaikan oleh sejarah itu sendiri secara utuh, kemudian mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya ke dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini dan di masa yang akan datang.

Setidaknya, dari tragedi G 30S/PKI ini kita mendapatkan pelajaran bahwa terjadinya perebutan kekuasaan di dalam suatu bangsa dan negara akan selalu mengundang permasalahan. Baik itu dalam lingkup kelompok kecil maupun besar.

Akhir-akhir ini, para anggota DPR, terutama yang berada di Komisi III saling beradu mulut mengungkapkan aib orang lain hanya untuk memperebutkan sebuah kursi kekuasaan, yakni Ketua Komisi III. Hal semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi jika kita dapat memahami pelajaran yang disampaikan dalam tragedi G 30S/PKI sejak dahulu. Anggota DPR yang sejatinya sebagai penyambung lidah masyarakat, seharusnya mereka saling bekerjasama dalam mewujudkan suatu cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat. Bukan malah sibuk dengan urusan kekuasaan belaka. Anggota DPR seharusnya saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga, jika terdapat suatu kekurangan akan segera tertutupi atau terpenuhi.

Akhirnya, di dalam menjalankan suatu pekerjaan (amanat) suatu bangsa dan negara akan lebih mudah tercapai jika di dalam kelompok tersebut terjalin hubungan yang harmonis (tidak ada rasa iri hati atau perasaan tercela lainnya) dan saling bekerjasama antara yang satu dengan yang lainya. Bukan dengan saling beradu mulut mengumbar aib orang lain seperti sekarang ini!
 

Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat: 2 Oktober 2013.