Kurang lebih sebulan lalu, dimana seluruh media massa heboh
memberitakannya. Video koplak bahasa “intelek” Vicky hingga sekarang ini
masih cukup eksis di lingkungan para artis tanah air, bahkan masyarakat umum. Akhir-akhir
ini, video koplak tersebut diedit menjadi sebuah video yang sangat unik
bin lucu. Bahasa “intelek” Vicky dikolaborasikan dengan video Arya Wiguna dan
Farhat Abbas.
Sebelum melangkah lebih jauh dalam memahami bahasa “intelek” Vicky,
alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan
bahasa. Secara umum, bahasa adalah suara (bunyi) yang menunjukkan atau
mengabarkan segala sesuatau yang dikehendaki oleh seseorang kepada suatu
kamunitas (objek bahasa). Jadi, bahasa tidak akan pernah ada jika tanpa
komunitas (masyarakat). Bahasa itu bersifat arbitrer. Artinya, bahasa itu
bersifat mengikat, tidak bisa diganggu gugat dan segala sesuatunya telah
ditetapkan dan disepakati oleh masyarakat umum.
Mengujarkan bahasa kepada objek bahasa (berbahasa/berkomunikasi) tidak
boleh semaunya. Semua ada aturannya. Misalnya, kita ingin mengatakan suatu
benda A yang telah disepakati oleh masyarakat umum. Tapi, di dalam
berkamunikasi kita menggantinya dengan kalimat yang berbeda tanpa adanya
persetujuan dari masyarakat umum, misalkan saja B. Akibatnya, semua orang yang
kita ajak berkomunikasi pasti akan bingung.
Berbicara masalah bahasa “intelek” Vicky yang menuai banyak
kontroversi ini, dalam perspektif ilmu psikolinguistik semua itu tidak bisa terlepas
dari adanya hukum kausalitas. Segala sesuatu yang terjadi di bumi ini pasti ada
sebab-akibatnya. Dalam hal ini, semua bahasa yang telah diujarkan oleh Vicky Prasetyo
itu pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Karena, berbahasa atau
berkomunikasi adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang
berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya (Abdul
Chaer, 2009).
Wilhelm Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, di dalam teorinya mengatakan
bahwa bahasa dan pemikiran manusia itu memiliki ketergantungan yang sangat erat
antara yang satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, mengenai bahasa itu sendiri,
ia berpendapat bahwa substansi bahasa
itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian
lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform,
dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau innereform.
Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform)
dan pikiran (ideenform).
Dari keterangan itu, dapat kita simpulkan bahwa bunyi bahasa
merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran atau perasaan adalah bentuk-dalam.
Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk-dalam bahasa
berada di dalam otak atau perasaan seorang pengujar bahasa tersebut. Dalam
kaitanya dengan bahasa “intelek”nya Vicky, bahasa yang menuai banyak
kontroversi itulah yang dimaksud dengan bentuk-luar bahasa, sedangkan
bentuk-dalamnya yaitu amburadulnya pemikiran atau perasaan Vicky pada saat
mengucapkan kata-kata kontroversi tersebut.
Buktinya, beberapa hari kemudian pascavideo kocaknya itu beredar di
berbagai media massa, semua kasus keburukannya terungkap. Vicky ditangkap oleh pihak
kepolisian akibat tersandung kasus pemalsuan sertifikat tanah. Selama satu
tahun terakhir, ternyata dia telah tercatat sebagai buronan polisi. Kemudian,
terungkapnya sifat play boy yang dimilikinya.
Lebih luas lagi, Dr. Abdulmajid Akhmad Mansyur (1982) di dalam
kitabnya yang berjudul Ilmu Al-lughoh An-nafsi mengatakan bahwa pikiran
itu dapat mempengaruhi bahasa seseorang. Begitu juga sebaliknya, bahasa pun
juga dapat mempengaruhi pikiran seseorang. Sejalan dengan Abdulmajid, Benjamin
Lee Whorf berpendapat bahwa sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya
merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk
ide-ide itu, suatu program kegiatan mental dan penentu struktur mental
seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran
seseorang.
Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya bahasa “intelek” Vicky
yang menuai banyak kontroversi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pikiran
atau perasaan yang penuh dengan masalah saja. Tapi, kemungkinan besar ada suatu
unsur lain yang diinginkan oleh pengujar dari bahasa tersebut. Misalnya, si
pengujar bahasa tersebut menginginkan pengakuan dari masyarakat bahwa dirinya
itu merupakan seorang yang berintelektual tinggi, pandai, pintar, jenius. Sebab,
kualitas bahasa dari seorang pengujar bahasa itu merupakan salah satu cara yang
dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan dari orang yang mengucapkan bahasa
itu sendiri (Abdulmajid, 1982).
Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Radar Surabaya: 20 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar