Kamis, 10 Juli 2014

Mengatasi Problematika Pernikahan

Judul Buku: Halaqah Cinta: Follow Your Prophet, Find Your True Love
Penulis: @teladanrasul
Penerbit: QultumMedia
Cetakan: Pertama, Februari 2014
Tebal: vi+302 halaman
ISBN: 978-979-017-280-7
Peresensi: Wahyu Eko Sasmito, Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Surabaya

Menikah merupakan suatu ibadah yang mulia dan sangat diidam-idamkan oleh setiap insan manusia yang normal. Karena, melalui pernikahan manusia (pria dan wanita) dapat mengikuti fitrah mereka untuk berkasih sayang, memenuhi kebutuhan akan perhatian dan lembutnya cinta, serta keduanya akan berusaha menjalankan tanggung jawab sebagai pasangan, bukan dengan cara yang kotor dan membawa kerusakan (hlm.10).

Melalui proses pernikahan, “sesuatu” yang semula hina menjadi mulia, haram menjadi halal, dan yang awalnya dosa menjadi sumber pahala yang tak terhingga. Proses inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Selain perihal di atas, menikah merupakan salah satu sunah Rosulullah SAW yang sangat dianjurkan keberadaannya.

Hal ini dijelaskan oleh Nabi melalui hadisnya sebagai berikut:   “Menikah adalah sunahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunahku, ia bukan termasuk golonganku. Menikahlah, karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat. Barangsiapa memiliki kemampuan untuk menikah, menikahlah! Dan, barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya dari berbagai syahwat” (HR. Ibnu Majah).

Namun, di balik semua itu, untuk menuju suatu gerbang pernikahan, banyak diantara kita (khususnya bagi yang sudah memasuki usia nikah) yang mengalami berbagai macam problematika, misalnya belum mempunyai pekerjaan tetap, belum dapat izin orang tua, ingin berbakti dulu kepada orang tua, belum nemu yang cocok, terlalu memilih yang perfect, adanya pengalaman buruk di masa lalu, belum pede, takut ini-itu dan lain sebagainya. Sehingga, mengakibatkan pernikahan itu tetap kembali menjadi sebuah keinginan yang masih berada di angan-angan, belum menjadi suatu realita yang di dalamnya penuh dengan samudera pahala.

Buku Halaqah Cinta: Follow Your Prophet, Find Your True Love ini berisi tentang tip dan trik untuk mengatasi berbagai macam problematika pernikahan sebagaimana dijelaskan di atas. Di samping itu, buku ini juga menawarkan berbagai cara untuk menjaga kemesraan dan keharmonisan keluarga pascapernikahan ala Rosulullah SAW kepada semua istri-istrinya. Agar di dalam suatu keluarga itu dapat terhindar dari perkelaian, perpecahan atau bahkan perceraian.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana sekaligus komunikatif, sehingga isinya sangat mudah untuk difahami. Membacanya, kita terasa berkomunikasi dengan penulisnya secara langsung. Dan, inilah yang membuat buku ini sangat sayang jika dilewatkan.

Dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 11 Mei 2014.
Wahyu Eko Sasmito merupakan penduduk asli di desa Bonggi, Gambiranom, Kismantoro, kota Cassava (Gaplek), Wonogiri, Jawa Tengah. Sekarang tinggal di Jalan Jemur Wonosari, Gang 3, Nomor 17, Wonocolo, Surabaya. Di Surabaya ini, dia sedang mengarungi samudra ilmu pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya. 

Sejak awal memasuki dunia kampus (2011), dia mulai mengenal dunia kepenulisan dari beberapa teman seperjuangannya yang giat menulis beberapa artikel hingga tembus ke berbagai media di negeri ini. Dan, karena itulah dia juga tertarik untuk menekuni dunia kepenulisan tersebut. Hingga akhirnya, beberapa media baik cetak maupun elektronik mampu ditembusnya, diantaranya yaitu: Suara Karya, Banjarmasin Post, Batam Pos, Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Koran Madura, Metro Riau, Media Indonesia.com, WAWASANews, Wasathon.com, Eramadina, dll.

Saat ini dia dapat dihubungi melalui beberapa alamat berikut: 
e-mail : sasmitowae@gmail.com
Blog : sasmitowae.blogspot.com
Twitter : @WahyuEkoSasmit1 (sasmitowae@gmail.com)
Facebook : Wahyu Eko Sasmito (wahyuekosasmito@yahoo.co.id)

Rabu, 09 Juli 2014

Refleksi Hardiknas: Menumbuhkan Kembali Spirit Pendidikan

Jum’at (2/5) kemarin, merupakan hari ulang tahunnya Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara. Di negeri ini, hari kelahiran beliau ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hal ini dikarenakan semangat dan tekad beliau di dalam memperjuangkan rakyat pribumi agar dapat menikmati pendidikan selama era kolonialisme Belanda sangatlah besar. Pada masa itu, beliau berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya saja yang bisa mengenyam bangku pendidikan, sedangkan rakyat miskin tidak diperbolehkan. Akibat dari aksi keberaniannya tersebut, beliau sempat diasingkan ke Belanda, dan kemudian beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia.  

Perbedaan strata sosial –kaya dan miskin—dalam dunia pendidikan kita saat ini telah tiada. Sekarang, orang kaya maupun miskin bebas menentukan pilihannya masing-masing dalam urusan menyekolahkan anak-anak mereka. Semua ini berbanding terbalik dengan zamannya Bapak Pendidikan kita, bukan? Yang membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga untuk sekedar mencicipi lezatnya susunan abjad-abjad. Namun, yang menjadi permasalahan sekarang adalah semangat (spirit) kita dalam mewujudkan cita-cita yang mulia dari Bapak Pendidikan tersebut mengalami penurunan atau bahkan hilang.

Pada era kolonialisme Belanda, para pejuang bangsa kita terdahulu mendapatkan ancaman dan tempaan dari bangsa penjajah ketika mereka menuntut ilmu. Namun, saat ini tempaan tersebut justru datang dari kalangan orang-orang dalam (para oknum pengelola institusi pendidikan) dan terkadang juga datang dari orang-orang terdekat para peserta didik itu sendiri. Sungguh ironis, bukan?

Sebagaimana trending topic dari berbagai media masa, baik cetak maupun elektronik dewasa ini, banyak memberitakan perihal hiruk-pikuknya problematika yang tengah terjadi di berbagai institusi pendidikan. Mulai dari adanya kasus “kawakan” yaitu perpeloncoan, perkelaihan antar pelajar, pelecehan seksual, hingga kasus pembunuhan di dalam institusi pendidikan hampir disuguhkan setiap harinya.  

Berawal dari terungkapnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pedofilia terhadap siswa taman kanak-kanak di Jakarta Internasional School (JIS) bulan lalu, pada giliran yang berikutnya, banyak muncul berita yang bermotif serupa; seperti terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswinya sendiri yang masih duduk di SMP Islam Sabilillah, Kota Malang, Jawa Timur (Kompas.com, 30/4). Kemudian, seorang pelajar putri tingkat SMA inisial HP (15) didampingi ayahnya RN (55), warga Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu, melapor ke Polda Bengkulu karena perlakuan asusila dari AZ dan beberapa rekannya selama 40 hari (Tribunnews, 30/4).

Selain kasus pelecehan seksual sebagaimana telah di sebutkan di atas, dunia pendidikan kita kembali ditampar oleh adanya kasus pembunuhan yang terjadi di dalamnya. RA (37) warga Pedukuhan Sedan Desa Sidorejo Kecamatan Lendah yang merupakan Bu Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Rela Bhakti 2 Wates dibunuh rekan sesama guru, Sug (45) warga Pengasih, Sabtu (03/05/2014). Sug tega membunuh diduga karena merasa jengkel terhadap korban. Korban tewas di perjalanan menuju rumah sakit setelah mendapat beberapa kali tusukan dari pelaku (KRjogja, 4/5). Di samping itu, berita yang masih hangat diperbincangkan pada pekan ini adalah kasus meninggalnya bocah kelas 5 SD Makasar 08/09, Jakarta Timur diduga karena dikeroyok oleh 5 kakak kelasnya cuma gara-gara si korban menumpahkan minuman mereka secara tidak disengaja.

Melihat realita yang ada, saat ini, dunia pendidikan kita seakan telah melupakan pesan agung dari sang Bapak Pendidikan, yaitu “Ing ngarso sung thulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. “Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”. Padahal, menurut penulis, semboyan ini merupakan kunci sukses dari suatu proses pendidikan.

Kaitanya dengan semboyan tersebut, yang berperan sebagai ing ngarso sung thulodo, di depan memberi contoh adalah guru. Guru itu (digugu lan ditiru), istilah inilah yang seharusnya benar-benar diimplementasikan dalam dunia pendidikan kita. Untuk menjadi seorang guru yang dapat digugu lan ditiru, selain memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, seorang guru dituntut untuk memiliki akhlak sekaligus budi pekerti yang luhur yang selalu dipraktikkan di dalam kehidupannya sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan sosialnya. Dari situ,  secara tidak langsung, pendidikan akhlak dan budi pekerti akan tersalurkan dengan baik kepada para peserta didik. Bukankah hal ini menjadi tujuan utama dari pendidikan karakter?

Sayangnya, untuk mewujudkan semua itu masih sangat sulit. Selama ini, mayoritas guru hanya mampu mengajar, belum sampai pada tahap mendidik peserta didik. Kebanyakan dari mereka hanya mengajar peserta didik untuk mengejar suatu target, yaitu barisan digit-digit angka yang berjajar vertikal di dalam lembaran rapot ataupun ijazah, dengan dalih agar tidak mendapatkan omelan dari atasan sekaligus gaji bulanan yang “menggiurkan”. Sedangkan, keteladanan akhlak sekaligus budi pekerti yang luhur sangat minim diterapkan atau bahkan dilupakan.

Rasanya kurang etis, jika hanya menyalahkan peran guru atau sistem pendidikan yang ada terkait dengan adanya beragam problematika pendidikan sekarang ini. Sebagai pelaku ing madya mangun karso, tut wuri handayani, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan, keadaan lingkungan dan kondisi keluarga juga memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam hal tersebut. Para orang tua dari peserta didik, seringkali lupa memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Mereka hanya disibukkan dengan pekerjaan, sedang pola pergaulan anak-anaknya kerap kali mereka abaikan. Kurangnya nasehat dan belaian kasih sayang dari orang tua inilah yang sering kali mengakibatkan para peserta didik itu berperilaku secara bebas, liar, hingga terkadang juga sampai pada perilaku yang merusak dan merugikan orang lain.

Di sisi lain, kurangnya keteladanan dari orang tua akibat minimnya interaksi dengan anak-anaknya (peserta didik) juga memberikan dampak yang negatif. Pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik akan sulit didapatkan oleh para peserta didik. Pada dasarnya, kehidupan keluarga merupakan tempat dimana pendidikan tersebut kali pertama sekaligus paling banyak di terapkan. Sehingga, akan mengalami ketimpangan jika proses pendidikan itu hanya berlangsung di lingkungan sekolah saja. Sistem pendidikan yang ada di sekolah hanya berupa cara pembelajaran yang ditawarkan. Namun, penentu keberhasilan dari pendidikan tersebut tetap tidak terlepas dari adanya peran guru dan terlebih lagi peran orang tua dan keadaan lingkungan yang ada.

Akhirnya, sebagai refleksi Hardiknas pada tahun ini, kiranya kita harus merenungkan kembali semboyan dari Bapak Pendidikan kita, yaitu “Ing ngarso sung thulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” untuk menumbuhkan kembali spirit pendidikan, sebagaimana pernah beliau gelorakan pada zaman kolonialisme Belanda beberapa abad yang lalu. Tujuan utama dari sebuah proses pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang cerdas, berpengetahuan yang luas serta dihiasi dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Dan, untuk mewujudkan semua itu, tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Semua oknum dari institusi pendidikan, semua orang tua serta lingkungan yang baik dari peserta didik harus saling mendukung satu sama lain. Dengan begitu, tujuan utama dari suatu proses pendidikan lambat laun akan segera terwujud. Yaitu, pendidikan yang mencetak manusia yang cerdas, berpengetahuan luas sekaligus dihiasi dengan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Wallahu a’lam bi showab.

Dimuat di Batam Pos, 8 Mei 2014.

Mengingatkan Kematian dengan Cerita

Judul Buku: Dekapan Kematian, Saat Belahan Jiwa Pergi Meninggalkanmu
Penulis: Oki Setiana Dewi
Penerbit: Mizania, Bandung
Cetakan: III, Januari 2014
Tebal Buku: 235 halaman
ISBN: 978-602-9255-68-3
Peresensi: Wahyu Eko Sasmito, Penikmat Buku Sekaligus Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Surabaya

Kematian merupakan suatu perihal yang pasti akan terjadi pada setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi ini. Kejadiannya tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah Swt. Ketika kematian telah tiba waktunya, ia tak peduli terhadap ruang, keadaan, dan waktu. Dengan kata lain, terjadinya kematian itu tidak dapat dinegosiasi adanya.

Usia muda tak menjamin akan mati belakangan. Begitu pula sebaliknya, usia tua tak menjamin akan segera pulang kepada-Nya. Ketika kematian seseorang telah tiba saatnya, tempat persembunyian yang aman sekalipun tidak dapat digunakan untuk menghindarinya. Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman, “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS Al-Nisa’ [4]: 78).

Kematian adalah awal atau pintu gerbang menuju kehidupan abadi (hlm. 14). Sementara kehidupan di dunia ini hanyalah bersifat sementara. Segala keindahan, kenikmatan, kesenangan  yang ada di dalamnya hanya bersifat memperdaya. Dalam hal ini, Allah Swt. telah memperingatkan kita semua melalui firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 185: Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada Hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surge, sungguh ia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itui tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.   

Berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa setelah kehidupan di dunia ini masih ada kehidupan yang lain, yaitu Hari Kiamat (akhirat). Akhirat merupakan tempat kehidupan yang abadi. Oleh karena itu, untuk menghadapi kehidupan yang abadi tersebut, kita dituntut untuk menyiapkan bekal yang cukup selama hidup di dunia ini. Yakni, selalu beribadah kepada Allah Swt., seperti mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa, bershadaqah, dan beberapa amal kebaikan lainnya.

Namun, sayangnya tak semua orang yang hidup di dunia ini mempercayai adanya hal tersebut. Mereka menganggap bahwa hidup di dunia ini adalah kehidupan yang terakhir, sedangkan kematian merupakan akhir dari kehidupan itu sendiri. Sehingga, tak heran, jika dalam menjalani kehidupan di dunia ini mereka cenderung hidup berfoya-foya untuk memuaskan hawa nafsunya saja tanpa mempedulikan persiapan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.

Tak jauh berbeda, banyak juga orang yang mempercayai adanya kehidupan akhirat melakukan hal yang serupa, berfoya-foya dan memuaskan hawa nafsunya. Hal ini disebabkan karena mereka sering menyepelekan terhadap kehidupan itu sendiri. Meresa masih muda, sehat, kuat, mereka menganggap hidupnya masih lama lagi. Sehingga yang terjadi tidak lain hanyalah selalu ingin menunda dalam melakukan amal kebaikan. 

Melalui buku Dekapan Kematian, Saat Belahan Jiwa Pergi Meninggalkanmu ini, penulis hendak menyampaikan pesan kepada kita semua agar segera tersadar dari pemikiran yang keliru tersebut. Dan, mengajak kita semua untuk melakukan berbagai amal kebaikan yang sering kita tunda-tunda guna mempersiapkan bekal kehidupan selanjutnya pasca kematian.

Buku ini berisi kumpulan kisah nyata seputar kematian yang dialami oleh sahabat-sahabat penulis. Yang mana, dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringan dan mudah untuk difahami dengan alur cerita yang mengalir begitu saja, membuat kisah-kisah tersebut dapat mengetuk hati yang begitu dalam, sehingga dapat menyadarkan kita semua akan begitu dekatnya kematian itu dengan diri kita. Sewaktu-waktu, kematian dapat merenggut nyawa kita semaunya tanpa mempedulikan ruang, waktu dan keadaan kita.

Di samping itu, buku ini juga mengajarkan tetang bagaimana caranya menghadapi kematian secara bijak. Yakni, kita harus ridlo, sabar dan ikhlas bila suatu saat orang-orang yang kita cintai, baik itu ibu, bapak, adik, kakak, atau yang lainnya diambil oleh-Nya. Pada dasarnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali. Inna lillahi wa ina ilaihi raji’un. Selanjutnya, kita akan menemukan makna “selamat” yang hakiki melalui kisah-kisah yang telah dirangkai secara apik oleh penulis, yaitu baik mati maupun hidup, kita tetap berada di jalan Allah Swt.

Dimuat di Wasathon.com, 9 Juli 2014.