Jum’at
(2/5) kemarin, merupakan hari ulang tahunnya Bapak Pendidikan, Ki Hadjar
Dewantara. Di negeri ini, hari kelahiran beliau ditetapkan oleh pemerintah sebagai
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hal ini dikarenakan semangat dan tekad
beliau di dalam memperjuangkan rakyat pribumi agar dapat menikmati pendidikan
selama era kolonialisme Belanda sangatlah besar. Pada masa itu, beliau berani
menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang hanya
memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya saja yang bisa
mengenyam bangku pendidikan, sedangkan rakyat miskin tidak diperbolehkan.
Akibat dari aksi keberaniannya tersebut, beliau sempat diasingkan ke Belanda,
dan kemudian beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa
setelah kembali ke Indonesia.
Perbedaan strata sosial –kaya dan miskin—dalam dunia pendidikan
kita saat ini telah tiada. Sekarang, orang kaya maupun miskin bebas menentukan
pilihannya masing-masing dalam urusan menyekolahkan anak-anak mereka. Semua ini
berbanding terbalik dengan zamannya Bapak Pendidikan kita, bukan? Yang
membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga untuk sekedar mencicipi lezatnya susunan
abjad-abjad. Namun, yang menjadi permasalahan sekarang adalah semangat (spirit)
kita dalam mewujudkan cita-cita yang mulia dari Bapak Pendidikan tersebut
mengalami penurunan atau bahkan hilang.
Pada era kolonialisme Belanda, para pejuang bangsa kita terdahulu
mendapatkan ancaman dan tempaan dari bangsa penjajah ketika mereka menuntut
ilmu. Namun, saat ini tempaan tersebut justru datang dari kalangan orang-orang
dalam (para oknum pengelola institusi pendidikan) dan terkadang juga datang
dari orang-orang terdekat para peserta didik itu sendiri. Sungguh ironis,
bukan?
Sebagaimana trending topic dari berbagai media masa, baik
cetak maupun elektronik dewasa ini, banyak memberitakan perihal hiruk-pikuknya
problematika yang tengah terjadi di berbagai institusi pendidikan. Mulai dari
adanya kasus “kawakan” yaitu perpeloncoan, perkelaihan antar pelajar, pelecehan
seksual, hingga kasus pembunuhan di dalam institusi pendidikan hampir disuguhkan
setiap harinya.
Berawal dari terungkapnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan
oleh para pedofilia terhadap siswa taman kanak-kanak di Jakarta Internasional
School (JIS) bulan lalu, pada giliran yang berikutnya, banyak muncul berita yang
bermotif serupa; seperti terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan oleh
seorang guru terhadap siswinya sendiri yang masih duduk di SMP Islam
Sabilillah, Kota Malang, Jawa Timur (Kompas.com, 30/4). Kemudian,
seorang pelajar putri tingkat SMA inisial HP (15) didampingi ayahnya RN (55),
warga Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu, melapor ke Polda Bengkulu karena
perlakuan asusila dari AZ dan beberapa rekannya selama 40 hari (Tribunnews,
30/4).
Selain kasus pelecehan seksual sebagaimana telah di sebutkan di
atas, dunia pendidikan kita kembali ditampar oleh adanya kasus pembunuhan yang
terjadi di dalamnya. RA (37) warga Pedukuhan Sedan
Desa Sidorejo Kecamatan Lendah yang merupakan Bu Guru di Sekolah Luar Biasa
(SLB) Rela Bhakti 2 Wates dibunuh rekan sesama guru, Sug (45) warga Pengasih,
Sabtu (03/05/2014). Sug
tega membunuh diduga karena merasa jengkel terhadap korban. Korban tewas di
perjalanan menuju rumah sakit setelah mendapat beberapa kali tusukan dari
pelaku (KRjogja, 4/5). Di samping itu, berita yang masih hangat
diperbincangkan pada pekan ini adalah kasus meninggalnya bocah kelas 5 SD
Makasar 08/09, Jakarta Timur diduga karena dikeroyok oleh 5 kakak kelasnya cuma
gara-gara si korban menumpahkan minuman mereka secara tidak disengaja.
Melihat realita yang ada, saat ini, dunia pendidikan
kita seakan telah melupakan pesan agung dari sang Bapak Pendidikan, yaitu “Ing ngarso sung thulodo, ing madya mangun karso, tut wuri
handayani”. “Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di
belakang memberi dorongan”. Padahal, menurut penulis, semboyan ini merupakan
kunci sukses dari suatu proses pendidikan.
Kaitanya dengan semboyan tersebut, yang berperan sebagai ing
ngarso sung thulodo, di depan memberi contoh adalah guru. Guru itu (digugu
lan ditiru), istilah inilah yang seharusnya benar-benar diimplementasikan
dalam dunia pendidikan kita. Untuk menjadi seorang guru yang dapat digugu
lan ditiru, selain memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, seorang
guru dituntut untuk memiliki akhlak sekaligus budi pekerti yang luhur yang
selalu dipraktikkan di dalam kehidupannya sehari-hari, baik di lingkungan
sekolah maupun di lingkungan sosialnya. Dari situ, secara tidak langsung, pendidikan akhlak dan
budi pekerti akan tersalurkan dengan baik kepada para peserta didik. Bukankah
hal ini menjadi tujuan utama dari pendidikan karakter?
Sayangnya, untuk mewujudkan semua itu masih sangat sulit. Selama
ini, mayoritas guru hanya mampu mengajar, belum sampai pada tahap mendidik
peserta didik. Kebanyakan dari mereka hanya mengajar peserta didik untuk
mengejar suatu target, yaitu barisan digit-digit angka yang berjajar vertikal
di dalam lembaran rapot ataupun ijazah, dengan dalih agar tidak mendapatkan omelan
dari atasan sekaligus gaji bulanan yang “menggiurkan”. Sedangkan, keteladanan
akhlak sekaligus budi pekerti yang luhur sangat minim diterapkan atau bahkan
dilupakan.
Rasanya kurang etis, jika hanya menyalahkan peran guru atau sistem
pendidikan yang ada terkait dengan adanya beragam problematika pendidikan sekarang
ini. Sebagai pelaku ing madya mangun karso, tut wuri handayani, di
tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan, keadaan lingkungan dan
kondisi keluarga juga memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam hal tersebut.
Para orang tua dari peserta didik, seringkali lupa memberikan perhatian kepada anak-anaknya.
Mereka hanya disibukkan dengan pekerjaan, sedang pola pergaulan anak-anaknya
kerap kali mereka abaikan. Kurangnya nasehat dan belaian kasih sayang dari
orang tua inilah yang sering kali mengakibatkan para peserta didik itu
berperilaku secara bebas, liar, hingga terkadang juga sampai pada perilaku yang
merusak dan merugikan orang lain.
Di sisi lain, kurangnya keteladanan dari orang tua akibat minimnya
interaksi dengan anak-anaknya (peserta didik) juga memberikan dampak yang
negatif. Pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik akan sulit didapatkan
oleh para peserta didik. Pada dasarnya, kehidupan keluarga merupakan tempat
dimana pendidikan tersebut kali pertama sekaligus paling banyak di terapkan.
Sehingga, akan mengalami ketimpangan jika proses pendidikan itu hanya
berlangsung di lingkungan sekolah saja. Sistem pendidikan yang ada di sekolah
hanya berupa cara pembelajaran yang ditawarkan. Namun, penentu keberhasilan
dari pendidikan tersebut tetap tidak terlepas dari adanya peran guru dan
terlebih lagi peran orang tua dan keadaan lingkungan yang ada.
Akhirnya, sebagai refleksi Hardiknas pada tahun ini, kiranya kita
harus merenungkan kembali semboyan dari Bapak Pendidikan kita, yaitu “Ing
ngarso sung thulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” untuk
menumbuhkan kembali spirit pendidikan, sebagaimana pernah beliau gelorakan pada
zaman kolonialisme Belanda beberapa abad yang lalu. Tujuan utama dari sebuah
proses pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang cerdas, berpengetahuan
yang luas serta dihiasi dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Dan, untuk
mewujudkan semua itu, tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja,
melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Semua oknum dari institusi
pendidikan, semua orang tua serta lingkungan yang baik dari peserta didik harus
saling mendukung satu sama lain. Dengan begitu, tujuan utama dari suatu proses
pendidikan lambat laun akan segera terwujud. Yaitu, pendidikan yang mencetak
manusia yang cerdas, berpengetahuan luas sekaligus dihiasi dengan akhlak dan
budi pekerti yang mulia. Wallahu a’lam bi showab.
Dimuat di Batam Pos, 8 Mei 2014.