Judul buku: Muhammadiyah itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan
Penulis: Muchammad Ali Shodiqin
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, Februari 2014
Tebal buku: xxii + 309 halaman
ISBN: 978-602-1306-03-1
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ (NU) merupakan dua ormas Islam yang tertua sekaligus memiliki pengikut terbesar di negeri ini. Oleh karena itu, segala permasalahan yang muncul dari kedua ormas Islam ini akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap keberlangsungan aktifitas berbangsa dan bernegara. Keduanya bagaikan sang saka merah-putih. Dulu, pada masa penjajahan, persatuan diantara keduanya dapat mengantarkan Indonesia kepada gerbang kemerdekaan.
Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan di antara keduanya semakin merenggang hingga berujung pada yang namanya perpecahan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh politik. Politiklah yang membuat mereka itu berseberangan. Politiklah yang menciptakan adu domba di antara keduanya. Padahal, jika ditelisik dari sisi sejarahnya, Muhammadiyah dan NU itu akarnya sama. Sama sejarahnya, tunggal guru, tunggal ilmu, bahkan satu keluarga. Kiai Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Hasyim NU adalah sama-sama keturunan Sunan Giri. Sunan Giri adalah anak Maulana Ishaq yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah binti Rasulullah (halaman 13-14).
Perpecahan itu diperburuk lagi dengan adanya perbedaan fiqih. Perbedaan ini terkadang dapat memicu timbulnya ganjalan-ganjalan dalam hubungan bermasyarakat. Akibatnya, umat Islam menyimpan rasa tidak suka antar sesamanya. Umat Islam saling mengeklaim bahwa pahamnyalah yang paling benar dan paham orang lain itu salah. Dari sinilah potensi konflik akan tumbuh. Jabatan-jabatan publik juga terpengaruh, sehingga pemerintahan tidak bisa menegakkan keadilan dengan sepenuhnya. Pada akhirnya, negara pula yang jadi korbannya.
Berdasar pada fenomena itulah, Muchammad Ali Shodiqin menyusun buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini ingin memublikasikan kembali dokumen fiqih yang terlupakan (Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 jilid tiga yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924) kepada khalayak umum khususnya warga Muhammadiyah dan NU.
Isi dari kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 jilid tiga itu sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU (halaman 12). Jadi, dapat disimpulkan bahwa Kiai Dahlan dan warga Muhammadiyah dalam melaksanakan ibadah keagamaan ketika itu sama dengan model pelaksanaannya warga NU. Dengan kata lain, di masa awal berdirinya, fiqih Muhammadiyah itu menggunakan mazhab syafi’i yang sama dengan NU.
Pada masa berikutnya, sejarah fiqih (tarikh tasyri’) Muhammadiyah mengalami perkembangan (perubahan). Masa-masa atau periode perkembangan fiqih Muhammadiyah itu bisa disimpulkan sebagai berikut: Masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa HPT (1967-1995), dan Masa Pembauran HPT-Globalisasi (1995-kini).
Beberapa fase perkembangan fiqih Muhammadiyah ini memiliki tandanya masing-masing. Pada masa Syafi’i, Muhammadiyah yang didirikan oleh Kiai Dahlan merupakan organisasi keagamaan Islam yang bermazhab Syafi’i. Selanjutnya, pada masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi ditandai dengan perubahan sikap Muhammadiyah dari lunak ala Kiai Dahlan ke keras ala Sutan Mansur. Masa ini juga ditandai dengan kemenangan Ibnu Saud yang berpaham Wahhabi dalam menaklukkan kota Makkah-Madinah dan hendak mendirikan kekhalifahan berpaham Wahhabi (1925), di mana Muhammadiyah menyambut baik kemenangan itu (halaman 31-60). Hal inilah yang melatar belakangi terjadinya perpecahan antara Muhammadiyah dengan NU. Saat Muhammadiyah terpikat dengan kemenangang Ibnu Saud, suara ulama-ulama pesantren yang kurang sependapat dengan sikap Muhammadiyah tak terwakili. Di titik itulah NU lahir tahun 1926 untuk memprotes secara langsung si Raja Arab itu, sebab paham Wahhabi akan menggusur semua amalan khas pesantren. Protes itu pun manjur hingga Ibnu Saud membatalkan niatnya di tahun 1927.
Masa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) ditandai dengan penghapusan ciri khas mazhab Syafi’i sekaligus ciri khas paham Wahhabi. Ciri khas paham Wahhabi yang dihapus adalah pengharaman gambar Kiai Dahlan yang dicabut di tahun 1968, sehingga menjadi halal dipasang lagi. Sedangkan, ciri khas mazhab Syafi’i yang dihapus dari HPT adalah qunut, yang penghapusannya dilakukan lewat Mu’tamar Tarjih di Pekalongan tahun 1972. Kemudian, pergantian masa HPT ke masa HPT-Globalisasi ditandai dengan berkembangnya paham-paham global dari luar Islam ke dalam Muhammadiyah, di antaranya yaitu isu gender, demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bahkan isu-isu kedokteran mutakhir (halaman 83-84).
Terlepas dari semua itu, perlu ditekankan bahwa, buku ini bukanlah sebuah pukulan untuk warga Muhammadiyah dan juga bukan simbol kemenangan dari warga NU. Penulisnya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari anggapan seperti itu. Selain mengolah bahasa yang indah-mendamaikan, ia juga berusaha agar buku ini menjadi suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, yaitu suara dari orang yang mencintai Muhammadiah. Hal ini dapat kita ketahui dari buku-buku yang sengaja ia jadikan referensi dalam penyusunan buku ini. Selain kitab Fiqih Muhammadiyah 1924, lebih dari sembilan puluh persen buku yang dijadikan referensi oleh penulis adalah buku terbitan penerbit yang sepaham dengan Muhammadiyah.
Akhirnya, buku ini lebih merupakan sebuah upaya jabat tangan (perdamaian) sejarah dan rangkulan persaudaraan sekaligus menjadi pintu perdamaian antara Muhammadiyah dengan NU. Pintu yang dapat membuka kata “harapan” dari warga Muhammadiyah dan membuka kata “maaf” dari warga NU. Karena, hanya dengan keduanya, yakni harapan dan maaf itulah sebuah perdamaian akan terwujud. Selamat membaca!
Dimuat di Harian Kabar Probolinggo, 3 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar