Memasuki tahun ajaran baru, hampir di seluruh jenjang pendidikan
mulai dari SD, SMP dan SMA mangadakan acara pengenalan dan pengorientasian
mengenai keadaan sekolah dan lingkungan yang ada di dalamnya kepada para siswa
barunya, biasanya disebut dengan Masa Orientasi Siswa (MOS). Sedangkan, di
tingkat Perguruan Tinggi biasanya disebut dengan Orientasi dan Pengenalan
Kampus (OSPEK), Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR), dan masih
banyak istilah lain yang sejenis dengannya.
Kegiatan ini, secara garis besar bertujuan untuk memberikan
gambaran umum dari masing-masing institusi pendidikan tersebut kepada para
siswa/mahasiswa baru. Mulai dari sejarah berdirinya, visi dan misinya, beraneka
ragam kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi yang ada di dalamnya, atau
berbagai hal yang lainnya.
Dari sini, dapat kita pahami bahwasanya suatu institusi pendidikan
yang mengadakan kegiatan MOS atau sejenisnya, bertujuan untuk memperkenalkan
segala sesuatu yang ada di dalam suatu institusi pendidikan yang melakukan acara
tersebut. Hal ini dilaksanakan tidak lain untuk memberikan arahan, imbauan, dan
pembelajaran kepada siswa/mahasiswa baru agar di dalam menjalani proses
pembelajaran di institusi pendidikan yang baru tersebut tidak kagok
(kaget, bingung, ling-lung, dll).
Selain daripada itu, kegiatan MOS atau sejenisnya dapat juga
dimanfaatkan oleh suatu institusi pendidikan sebagai sarana untuk memberikan
kesan baik kepada para siswa/mahasiswa baru mengenai kenyamanan belajar di
institusi pendidikan tersebut. Sehingga, di dalam menjalani pembelajaran ke
depannya mereka (para siswa/mahasiswa baru) dapat belajar dengan senang dan
tenang tanpa ada suatu rasa ketakutan, kejenuhan, dsb.
Namun, pada kenyataannya pelaksanaan MOS atau sejenisnya tersebut,
di setiap tahunnya selalu menuai banyak permasalahan. Pelaksanaannya selalu
dibarengi dengan aksi kekerasan, hukuman fisik, atau beberapa tindakan yang
tidak menyenangkan lainnya.
Sebagaimana dilansir oleh Duta Masyarakat edisi 24 Juli
2013, Anindya Ayu Puspitasari (16), warga Daleman, Gadingharjo, Sanden, Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta, meninggal dunia saat mengikuti Masa Orientasi Siswa
(MOS) di sekolahnya, SMKN 1 Pandak Bantul. Sebelum meninggal, korban sempat
dihukum squat jump karena dinilai melakukan pelanggaran peraturan
peserta MOS pada saat latihan baris-berbaris. Model perpeloncoan pra-masuk
sekolah ini pun kembali menuai kecaman. Karena itu Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan akan mengevaluasi system MOS tersebut. “Itu kita lakukan tahunan.
Tugas setiap daerah dinas kabupaten kota mengamankan, mengawal, merencanakan
agar pelaksanaan MOS itu benar dan sesuai tujuan yang nakal-nakal biasanya
terjadi di mahasiswa,” kata Kemendikbud, M. Nuh di Istana Negara, Jl. Veteran,
Jakarta, Selasa (23/7).
Berbicara masalah hukuman dalam acara MOS merupakan masalah yang
sangat urgen. Para panitia penyelenggara (yang terdiri dari siswa/mahasiswa
senior) sejak awal sebenarnya (jika mau mengakui), mereka lebih memprioritaskan
masalah yang sangat rawan dengan adanya pelanggaran terhadap peraturan yang
mereka berikan kepada peserta MOS, ketimbang tujuan utama diadakannya MOS itu
sendiri. Hal ini terjadi karena di dalam diri mereka (para panitia
penyelenggara MOS) telah terbesit rasa
“balas dendam” yang tertanam sejak awal saat mereka masih menjadi peserta MOS
di tahun sebelumnya.
Semua ini dapat kita ketahui dari beberapa persyaratan yang sangat
sulit dan tidak begitu penting adanya yang mereka berlakukan kepada para
peserta MOS. Misalnya, mengharuskan peserta MOS memakai kalung dari kaleng
susu, memakai tas dari kain goni, kaus kaki yang panjangnya sampai ke lutut,
dan beberapa persyaratan yang menyulitkan lainnya. Semua ini tidak lain
hanyalah untuk mencari kesalahan dari peserta MOS yang tidak mampu memenuhinya,
sehingga dijadikanlah mereka (para peserta MOS) itu sebuah ladang pelampiasan
“balas dendam” oleh para panitia MOS yang telah lama terpendam dalam diri
mereka.
Perilaku “balas dendam” untuk melakukan tindak “kekerasan” terhadap
para peserta MOS tersebut akan terus melahirkan keturunan dari waktu ke waktu,
selama praktek kekerasan di dalam pelaksanaan MOS tersebut tidak segera
dihentikan.
Partisipasi dari Guru
Setidaknya, untuk menghindari praktek kekerasan di dalam
pelaksanaan MOS tersebut, sangat diperlukan adanya partisipasi dari pihak guru
yang ada di suatu institusi pendidikan tersebut. Guru harus turun lapangan
secara langsung. Guru harus mengawal dan mendampingi siswanya (para panitian
penyelenggara MOS) selama proses MOS berlangsung.
Selama ini, pelaksanaan MOS dipasrahkan sepenuhnya kepada para
siswa. Sehingga, apabila di dalam prakteknya di lapangan terjadi suatu tindakan
yang tidak diinginkan, mereka (para panitia penyelenggara MOS) yang melakukan
“tindakan nakal” tidak ada yang menegur atau mengarahkannya secara langsung.
Sehingga, secara leluasa mereka melampiaskan rasa balas dendamnya kepada para
peserta MOS.
Memang, di dalam pelaksanaan MOS tersebut terdapat peraturan yang
sudah disepakati antara pihak sekolah (pengurus sekolah) dengan para panitia
penyelenggara MOS yang salah satu poinnya adalah pelarangan adanya tindak
kekerasan atau hukuman fisik kepada para peserta MOS selama proses MOS
berlangsung. Tapi, perlu diingat bahwa peraturan hanyalah sebuah benda mati
yang sewaktu-waktu dapat dilanggar oleh orang-orang yang menyepakatinya. Oleh
karena itu, di dalam pengimplementasiannya diperlukan adanya satuan tim
pengawas. Dalam hal ini, gurulah yang seharusnya berperan sebagai tim pengawas
terhadap pengimplementasian peraturan tersebut.
Akhirnya, perlu diingat bahwasanya tujuan utama diadakannya MOS
atau beberapa kegiatan lain yang sejenis dengannya tersebut adalah
memperkenalkan keadaan atau lingkungan dari suatu institusi pendidikan kepada
para siswa/mahasiswa baru. Meliputi, sejarah berdirinya institusi pendidikan
tersebut, visi dan misinya, beragam kegiatan ekstrakulikuler yang ada di
dalamnya, dan beberapa hal yang lainnya. Bukan suatu ajang “balas dendam” yang
telah direncanakan.
Bukankah, suatu perkenalan itu akan lebih indah, jika di dalamnya
diisi dengan sesuatu yang menyenangkan dan mampu memberikan kesan yang
menggembirakan kepada pihak yang diajak berkenalan, daripada perkenalan yang
diselimuti dengan tindak kekerasan yang memberikan bekas luka kesakitan
kemudian melahirkan perasaan balas dendam yang membahayakan?
Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora)
sekaligus Aktivis di Aliansi Mahasiswa Bidikmisi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel,
Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat: 26 Juli 2013.