Sabtu, 27 Juli 2013

MOS, Bukan Ajang Balas Dendam!


Memasuki tahun ajaran baru, hampir di seluruh jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP dan SMA mangadakan acara pengenalan dan pengorientasian mengenai keadaan sekolah dan lingkungan yang ada di dalamnya kepada para siswa barunya, biasanya disebut dengan Masa Orientasi Siswa (MOS). Sedangkan, di tingkat Perguruan Tinggi biasanya disebut dengan Orientasi dan Pengenalan Kampus (OSPEK), Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR), dan masih banyak istilah lain yang sejenis dengannya.

Kegiatan ini, secara garis besar bertujuan untuk memberikan gambaran umum dari masing-masing institusi pendidikan tersebut kepada para siswa/mahasiswa baru. Mulai dari sejarah berdirinya, visi dan misinya, beraneka ragam kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi yang ada di dalamnya, atau berbagai hal yang lainnya.

Dari sini, dapat kita pahami bahwasanya suatu institusi pendidikan yang mengadakan kegiatan MOS atau sejenisnya, bertujuan untuk memperkenalkan segala sesuatu yang ada di dalam suatu institusi pendidikan yang melakukan acara tersebut. Hal ini dilaksanakan tidak lain untuk memberikan arahan, imbauan, dan pembelajaran kepada siswa/mahasiswa baru agar di dalam menjalani proses pembelajaran di institusi pendidikan yang baru tersebut tidak kagok (kaget, bingung, ling-lung, dll). 

Selain daripada itu, kegiatan MOS atau sejenisnya dapat juga dimanfaatkan oleh suatu institusi pendidikan sebagai sarana untuk memberikan kesan baik kepada para siswa/mahasiswa baru mengenai kenyamanan belajar di institusi pendidikan tersebut. Sehingga, di dalam menjalani pembelajaran ke depannya mereka (para siswa/mahasiswa baru) dapat belajar dengan senang dan tenang tanpa ada suatu rasa ketakutan, kejenuhan, dsb.

Namun, pada kenyataannya pelaksanaan MOS atau sejenisnya tersebut, di setiap tahunnya selalu menuai banyak permasalahan. Pelaksanaannya selalu dibarengi dengan aksi kekerasan, hukuman fisik, atau beberapa tindakan yang tidak menyenangkan lainnya.

Sebagaimana dilansir oleh Duta Masyarakat edisi 24 Juli 2013, Anindya Ayu Puspitasari (16), warga Daleman, Gadingharjo, Sanden, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, meninggal dunia saat mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolahnya, SMKN 1 Pandak Bantul. Sebelum meninggal, korban sempat dihukum squat jump karena dinilai melakukan pelanggaran peraturan peserta MOS pada saat latihan baris-berbaris. Model perpeloncoan pra-masuk sekolah ini pun kembali menuai kecaman. Karena itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mengevaluasi system MOS tersebut. “Itu kita lakukan tahunan. Tugas setiap daerah dinas kabupaten kota mengamankan, mengawal, merencanakan agar pelaksanaan MOS itu benar dan sesuai tujuan yang nakal-nakal biasanya terjadi di mahasiswa,” kata Kemendikbud, M. Nuh di Istana Negara, Jl. Veteran, Jakarta, Selasa (23/7).

Berbicara masalah hukuman dalam acara MOS merupakan masalah yang sangat urgen. Para panitia penyelenggara (yang terdiri dari siswa/mahasiswa senior) sejak awal sebenarnya (jika mau mengakui), mereka lebih memprioritaskan masalah yang sangat rawan dengan adanya pelanggaran terhadap peraturan yang mereka berikan kepada peserta MOS, ketimbang tujuan utama diadakannya MOS itu sendiri. Hal ini terjadi karena di dalam diri mereka (para panitia penyelenggara MOS) telah terbesit  rasa “balas dendam” yang tertanam sejak awal saat mereka masih menjadi peserta MOS di tahun sebelumnya. 

Semua ini dapat kita ketahui dari beberapa persyaratan yang sangat sulit dan tidak begitu penting adanya yang mereka berlakukan kepada para peserta MOS. Misalnya, mengharuskan peserta MOS memakai kalung dari kaleng susu, memakai tas dari kain goni, kaus kaki yang panjangnya sampai ke lutut, dan beberapa persyaratan yang menyulitkan lainnya. Semua ini tidak lain hanyalah untuk mencari kesalahan dari peserta MOS yang tidak mampu memenuhinya, sehingga dijadikanlah mereka (para peserta MOS) itu sebuah ladang pelampiasan “balas dendam” oleh para panitia MOS yang telah lama terpendam dalam diri mereka.

Perilaku “balas dendam” untuk melakukan tindak “kekerasan” terhadap para peserta MOS tersebut akan terus melahirkan keturunan dari waktu ke waktu, selama praktek kekerasan di dalam pelaksanaan MOS tersebut tidak segera dihentikan.

Partisipasi dari Guru 
Setidaknya, untuk menghindari praktek kekerasan di dalam pelaksanaan MOS tersebut, sangat diperlukan adanya partisipasi dari pihak guru yang ada di suatu institusi pendidikan tersebut. Guru harus turun lapangan secara langsung. Guru harus mengawal dan mendampingi siswanya (para panitian penyelenggara MOS) selama proses MOS berlangsung. 

Selama ini, pelaksanaan MOS dipasrahkan sepenuhnya kepada para siswa. Sehingga, apabila di dalam prakteknya di lapangan terjadi suatu tindakan yang tidak diinginkan, mereka (para panitia penyelenggara MOS) yang melakukan “tindakan nakal” tidak ada yang menegur atau mengarahkannya secara langsung. Sehingga, secara leluasa mereka melampiaskan rasa balas dendamnya kepada para peserta MOS.

Memang, di dalam pelaksanaan MOS tersebut terdapat peraturan yang sudah disepakati antara pihak sekolah (pengurus sekolah) dengan para panitia penyelenggara MOS yang salah satu poinnya adalah pelarangan adanya tindak kekerasan atau hukuman fisik kepada para peserta MOS selama proses MOS berlangsung. Tapi, perlu diingat bahwa peraturan hanyalah sebuah benda mati yang sewaktu-waktu dapat dilanggar oleh orang-orang yang menyepakatinya. Oleh karena itu, di dalam pengimplementasiannya diperlukan adanya satuan tim pengawas. Dalam hal ini, gurulah yang seharusnya berperan sebagai tim pengawas terhadap pengimplementasian peraturan tersebut. 

Akhirnya, perlu diingat bahwasanya tujuan utama diadakannya MOS atau beberapa kegiatan lain yang sejenis dengannya tersebut adalah memperkenalkan keadaan atau lingkungan dari suatu institusi pendidikan kepada para siswa/mahasiswa baru. Meliputi, sejarah berdirinya institusi pendidikan tersebut, visi dan misinya, beragam kegiatan ekstrakulikuler yang ada di dalamnya, dan beberapa hal yang lainnya. Bukan suatu ajang “balas dendam” yang telah direncanakan.

Bukankah, suatu perkenalan itu akan lebih indah, jika di dalamnya diisi dengan sesuatu yang menyenangkan dan mampu memberikan kesan yang menggembirakan kepada pihak yang diajak berkenalan, daripada perkenalan yang diselimuti dengan tindak kekerasan yang memberikan bekas luka kesakitan kemudian melahirkan perasaan balas dendam yang membahayakan?

Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) sekaligus Aktivis di Aliansi Mahasiswa Bidikmisi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat: 26 Juli 2013.

IT, Prostitusi dan Pendidikan

Di zaman yang serba digital ini, semua tegnologi komunikasi seolah telah menjadi suatu kebutuhan pokok yang harus dimiliki oleh setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat.   Oleh karena itu, masyarakat saat ini menjadi “melek IT”, sehingga terlihat semakin maju. Namun, jika kita perhatikan masyarakat sekarang ini (terutama para pelajar) mengalami kemunduran. Bagaimana tidak, kita yang seharusnya menguasai IT, sekarang ini IT telah berbalik menguasai kita.

Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya terhadap kemajuan IT tersebut. Banyak orang yang menanggapi kemajuan IT itu dengan berbagai hal yang positif, seperti memanfaatkannya sebagai sarana untuk mempercepat pekerjaan, mendalami ilmu pengetahuan, sebagai sarana bisnis yang “halal”, dan dijadikan sarana penyambung silaturohmi antara sesama keluarga, kerabat, atau teman-teman seperjuangan yang tak lagi tinggal bersama. Namun, tak bisa kita pungkiri bahwasanya kemajuan IT tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab (agar tidak mengatakan bajingan) sebagai sarana mempermudah dalam melakukan aksi busuknya, misalnya penipuan bisnis secara online, penyebar-luasan situs-situs pornografi, bisnis prostitusi melalui media elektronik, dsb.
Akhir-akhir ini, praktek salah-kaprah terhadap pemanfaatan kemajuan IT yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab tersebut banyak kita jumpai di berbagai media elektronik, lembaran-lembaran koran cetak, majalah, atau beberapa media massa yang lainnya.

Berbagai macam praktek salah-kaprah tersebut kiranya perlu untuk kita bahas karena semua itu merupakan perilaku yang menyimpang dan sangat merugikan orang lain, bangsa dan negara. Tapi dalam tulisan kali ini, penulis hanya akan membahas tentang masalah bisnis prostitusi melalui media elektronik, dan lebih-lebih masalah ini menyangkut pada dunia pendidikan (para pelajar).

Sebagaimana telah dilansir oleh Kompas edisi 11 Juni 2013, bisnis prostitusi kini telah merabah pada dunia pendidikan, dimana NA (15), salah satu siswi SMP di Surabaya yang berprofesi sebagai mucikari, di samping menjual rekannya sendiri sesama siswi SMP kepada lelaki hidung belang. Dia juga menjual kakak kandungnya sendiri yang berusia tidak beda jauh dengannya. Di dalam transaksi dengan para pelanggannya, NA menggunakan fasilitas telepon dan pesan elektronik.

Korban pelacuran anak di Indonesia ini dapat dibilang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Ini sungguh sangat menyedihkan. Seorang anak terutama para pelajar merupakan generasi emas penerus bangsa yang dinanti-nantikan sepak terjangnya untuk perubahan Indonesia di masa yang akan datang. Kini telah pupus harapan lantaran ulah bejat dari para hidung belang dan para penguasa sifat hedonisme. Mereka yang hanya memikirkan kesenangan dan kenikmatan diri mereka sendiri tanpa mau memikirkan kepentingan orang lain, bangsa, dan negara.

Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), pada tahun 2008, sekurangnya terdapat 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi di setiap tahunnya. Angka itu meningkat 100 persen lebih dari statistik badan PBB, Unicef tahun 1998 yang mencatat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi (kompas.com, 14/10/2008).

Prostitusi anak-anak terutama para pelajar merupakan masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian secara khusus karena keberadaannya dapat memberikan dampak yang serius terhadap pertumbuhan mereka. Anak-anak yang dijadikan pelacur rentan terhadap hinaan, eksploitasi, penipuan, marjinalisasi, dan banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk berkembang secara sehat. Di samping itu, kebudayaan buruk ini juga dapat melemahkan moral bangsa Indonesia yang selama ini telah dikenal sebagai negara yang sopan-santun, dan ramah tamah. 

Hal serupa dengan pelacuran tapi justru lebih tersebar luas dan bahkan lebih berbahaya mengancam terhadap kemajuan bangsa adalah pergaulan (seks) bebas, perzinaan tanpa unsur komersil dan dilakukan suka sama suka. Saat ini, hal tersebut telah menjadi suatu hal yang biasa dan bahkan sudah menjadi budaya bagi kaum muda yang notabene sebagai penerus bangsa. Perilaku bejat itu dijadikan tren saat ini. Sepasang kekasih yang tidak melakukan hal yang dilarang oleh hukum agama tersebut dikatakan tidak jantan, katrok, kampungan, atau sebutan yang lain oleh teman-temannya. Sungguh ironi bukan?

Seiring dengan perkembangan IT saat ini, kaum pemuda (para pelajar) tanpa diliputi rasa malu, mereka sengaja merekam kemudian menyebarluaskan adegan asusila yang mereka lakukan tersebut kepada masyarakat. Sebagaimana hal ini telah terjadi pada sepasang kekasih dari salah satu sekolah SMK di kabupaten Probolinggo, Jatim beberapa pekan yang lalu.

Peristiwa yang telah terjadi saat ini sungguh sangat menyesakkan dada. Para pelajar yang notabene sebagai generasi emas penerus bangsa kini telah melakukan tindakan yang tak terpuji dan bahkan sangat memalukan. Seorang pelajar yang tugas pokoknya adalah belajar dan membaca, kini mereka telah melupakan tugas tersebut. Dunia pendidikan yang konon dikatakan sebagai tempatnya orang-orang yang pandai, ceerdas dan beretika kini telah berubah menjadi sarang incaran para hidung belang. Semua ini dapat mengakibatkan terjadinya degradasi moral yang sangat menakutkan, dan pada gilirannya akan menuju pada kehancuran bangsa Indonesia di masa mendatang.

Rendahnya pengawasan dan berkurangnya perhatian orangtua maupun guru di sekolah dapat dikatakan menjadi bagian dari penyimpangan perilaku anti sosial tersebut. Bagaimana tidak? Kebanyakan orangtua saat ini lebih mementingkan pekerjaannya daripada masa depan anak-anaknya. Kasih sayang yang mereka berikan pada anak-anaknya hanya berupa belaian lembaran uang. Artinya, orangtua saat ini hanya memenuhi segala sesuatu yang diminta oleh anaknya tanpa memperhatikan tingkah-laku yang dilakukan di belakang permintaannya tersebut. Begitu juga dengan guru di sekolah, mereka di dalam mengajar hanya sebatas memberikan materi yang telah ditargetkan oleh pihak sekolahan tanpa adanya keteladanan kepada para siswanya. Di samping itu, kemajuan IT dan kondisi masyarakat yang ada di sekitar para pelajar juga memberikan dampak yang sangat besar terhadap terjadinya tindakan asusila tersebut. 

Walhasil, untuk menghindari perilaku memalukan pada para pelajar tersebut sangat diperlukan pengawasan, perhatian, serta keteladanan dari orangtua dan guru yang ada di sekolah tempat mereka belajar. Di sampaing itu, dukungan dari masyarakat untuk membersihkan hama moral tersebut sungguh sangat diperlukan demi tercapainya negara yang beradab, bermoral, bersih dari tindakan asusila, serta terbentuknya bangsa yang terdidik bukan sebatas pendidikan secara formalitas belaka.

Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat: 27 Juni 2013

Selasa, 23 Juli 2013

Mentari Penyemangat Hati


Bayang indah terlukis di masa depan
Senyum tawa mereka menghias lepas
Pasca penerimaan calon mahasiswa
Bagiku beda pandang sebab kegagalan

Gelisah, pasrah bercampur jadi satu
Meski di dada penuh harapan baru
Peluang tawarkan tes beasiswa dan kursus gratis
Semua terasa hambar dan datar

Melihat kemampuan diri
Kuragukan semua itu
Tak mau terulang kisah buruk di masa lalu
Meski usaha ringankan beban orang tua

Gagal di saat akhir sekolah
Bertahun menabung tanpa hasil
Hilang percuma, harta orang tua berganti hutang
Demi aku, anak semata wayangnya

Bumi pun siap dipijaki
Meski gempa menyelimuti
Laut pun siap diarungi
Meski badai ombak menghantui

Impian indah kini tenggelam
Di dasar laut pekat gelap-gulita
Tertutup ombak buas menggulung
Di antara indahnya alur awan berjajar

Sesosok putri anggun elok rupanya
Membawa senyum wajah penuh harap
Terlontar pada diriku yang tak berdaya
Penghilang haus di padang tandus

Bisikan halus yang hinggap ketelinga
Perkataan mutiara yang keluar dari bibir manisnya
Meruntuhkan hati yang tak berdaya
Serta mampu merubah segalanya

Mimpi yang tenggelam kembali terbit
Semangat yang hilang kembali bangkit
Lemah, malas berubah menjadi spirit
Engkau bagai Sang Mentari

Melahirkan ombak di pagi hari
Memulangkan nelayan ke rumah kembali
Menghidupkan mimpi yang telah mati
Terimakasih Sang Mentari penyemangat hati

Surabaya, 14 November 2012