Di zaman yang
serba digital ini, semua tegnologi komunikasi seolah telah menjadi suatu
kebutuhan pokok yang harus dimiliki oleh setiap individu yang hidup dalam suatu
masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat
saat ini menjadi “melek IT”, sehingga terlihat semakin maju. Namun, jika kita
perhatikan masyarakat sekarang ini (terutama para pelajar) mengalami kemunduran. Bagaimana tidak, kita yang seharusnya
menguasai IT, sekarang ini IT telah berbalik menguasai kita.
Setiap orang
memiliki persepsi yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya terhadap
kemajuan IT tersebut. Banyak
orang yang menanggapi kemajuan IT itu dengan
berbagai hal yang positif, seperti memanfaatkannya sebagai sarana untuk
mempercepat pekerjaan, mendalami ilmu pengetahuan, sebagai sarana bisnis yang
“halal”, dan dijadikan sarana penyambung silaturohmi antara sesama keluarga,
kerabat, atau teman-teman seperjuangan yang tak lagi tinggal bersama. Namun, tak
bisa kita pungkiri bahwasanya kemajuan IT tersebut juga
dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang kurang
bertanggung jawab (agar tidak mengatakan bajingan) sebagai sarana mempermudah
dalam melakukan aksi busuknya, misalnya
penipuan bisnis secara online, penyebar-luasan situs-situs pornografi,
bisnis prostitusi melalui media elektronik, dsb.
Akhir-akhir ini, praktek salah-kaprah terhadap pemanfaatan kemajuan
IT yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab tersebut
banyak kita jumpai di berbagai media elektronik, lembaran-lembaran koran cetak,
majalah, atau beberapa media massa yang lainnya.
Berbagai macam praktek salah-kaprah tersebut kiranya perlu untuk kita
bahas karena semua itu merupakan perilaku yang menyimpang dan sangat merugikan
orang lain, bangsa dan negara. Tapi dalam tulisan kali ini, penulis hanya akan
membahas tentang masalah bisnis prostitusi melalui media elektronik, dan
lebih-lebih masalah ini menyangkut pada dunia pendidikan (para pelajar).
Sebagaimana telah dilansir oleh Kompas edisi 11 Juni 2013, bisnis
prostitusi kini telah merabah pada dunia pendidikan, dimana NA (15), salah satu
siswi SMP di Surabaya yang berprofesi sebagai mucikari, di samping menjual
rekannya sendiri sesama siswi SMP kepada lelaki hidung belang. Dia juga menjual
kakak kandungnya sendiri yang berusia tidak beda jauh dengannya. Di dalam
transaksi dengan para pelanggannya, NA menggunakan fasilitas telepon dan pesan
elektronik.
Korban pelacuran anak di Indonesia ini dapat dibilang setiap tahunnya
mengalami peningkatan. Ini sungguh sangat menyedihkan. Seorang anak terutama
para pelajar merupakan generasi emas penerus bangsa yang dinanti-nantikan sepak
terjangnya untuk perubahan Indonesia di masa yang akan datang. Kini telah pupus
harapan lantaran ulah bejat dari para hidung belang dan para penguasa sifat
hedonisme. Mereka yang hanya memikirkan kesenangan dan kenikmatan diri mereka
sendiri tanpa mau memikirkan kepentingan orang lain, bangsa, dan negara.
Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (ESKA), pada tahun 2008, sekurangnya terdapat 150.000 anak Indonesia
menjadi korban pelacuran anak dan pornografi di setiap tahunnya. Angka itu
meningkat 100 persen lebih dari statistik badan PBB, Unicef tahun 1998 yang
mencatat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi
(kompas.com, 14/10/2008).
Prostitusi anak-anak terutama para pelajar merupakan masalah kemanusiaan
yang membutuhkan perhatian secara khusus karena keberadaannya dapat memberikan
dampak yang serius terhadap pertumbuhan mereka. Anak-anak yang dijadikan
pelacur rentan terhadap hinaan, eksploitasi, penipuan, marjinalisasi, dan
banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak mereka untuk memperoleh
pendidikan yang layak serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk
berkembang secara sehat. Di samping itu, kebudayaan buruk ini juga dapat
melemahkan moral bangsa Indonesia yang selama ini telah dikenal sebagai negara
yang sopan-santun, dan ramah tamah.
Hal serupa dengan pelacuran tapi justru lebih tersebar luas dan bahkan lebih
berbahaya mengancam terhadap kemajuan bangsa adalah pergaulan (seks) bebas,
perzinaan tanpa unsur komersil dan dilakukan suka sama suka. Saat ini, hal
tersebut telah menjadi suatu hal yang biasa dan
bahkan sudah menjadi budaya bagi kaum muda yang notabene
sebagai penerus bangsa. Perilaku bejat itu dijadikan
tren saat ini. Sepasang kekasih yang tidak melakukan hal yang dilarang oleh
hukum agama tersebut dikatakan tidak jantan, katrok, kampungan, atau
sebutan yang lain oleh teman-temannya. Sungguh ironi bukan?
Seiring dengan perkembangan IT saat ini, kaum pemuda (para pelajar) tanpa diliputi
rasa malu, mereka sengaja merekam kemudian menyebarluaskan adegan asusila yang
mereka lakukan tersebut kepada masyarakat. Sebagaimana hal ini telah terjadi
pada sepasang kekasih dari salah satu sekolah SMK di kabupaten Probolinggo,
Jatim beberapa pekan yang lalu.
Peristiwa yang telah terjadi saat ini sungguh sangat menyesakkan dada. Para
pelajar yang notabene
sebagai generasi emas penerus bangsa kini telah melakukan tindakan yang tak
terpuji dan bahkan sangat memalukan. Seorang pelajar
yang tugas pokoknya adalah belajar dan membaca, kini mereka telah melupakan
tugas tersebut. Dunia pendidikan yang konon dikatakan sebagai tempatnya
orang-orang yang pandai, ceerdas dan beretika kini telah berubah menjadi sarang
incaran para hidung belang. Semua ini dapat mengakibatkan terjadinya degradasi
moral yang sangat menakutkan, dan pada gilirannya akan menuju pada kehancuran
bangsa Indonesia di masa mendatang.
Rendahnya pengawasan dan berkurangnya perhatian orangtua maupun guru di
sekolah dapat dikatakan menjadi bagian dari penyimpangan perilaku anti sosial
tersebut. Bagaimana tidak? Kebanyakan orangtua saat ini lebih mementingkan
pekerjaannya daripada masa depan anak-anaknya. Kasih sayang yang mereka berikan
pada anak-anaknya hanya berupa belaian lembaran uang. Artinya, orangtua saat
ini hanya memenuhi segala sesuatu yang diminta oleh anaknya tanpa memperhatikan
tingkah-laku yang dilakukan di belakang permintaannya tersebut. Begitu juga dengan guru di sekolah, mereka di dalam mengajar hanya sebatas
memberikan materi yang telah ditargetkan oleh pihak sekolahan tanpa adanya keteladanan
kepada para siswanya. Di samping itu, kemajuan IT dan kondisi masyarakat yang
ada di sekitar para pelajar juga memberikan dampak yang sangat besar terhadap
terjadinya tindakan asusila tersebut.
Walhasil, untuk menghindari perilaku memalukan pada para pelajar tersebut
sangat diperlukan pengawasan, perhatian, serta keteladanan dari orangtua dan
guru yang ada di sekolah tempat mereka belajar. Di sampaing itu, dukungan dari
masyarakat untuk membersihkan hama moral tersebut sungguh sangat diperlukan
demi tercapainya negara yang beradab, bermoral, bersih dari tindakan asusila,
serta terbentuknya bangsa yang terdidik bukan sebatas pendidikan secara
formalitas belaka.
Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat: 27 Juni 2013
Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat: 27 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar