Sabtu, 27 Juli 2013

IT, Prostitusi dan Pendidikan

Di zaman yang serba digital ini, semua tegnologi komunikasi seolah telah menjadi suatu kebutuhan pokok yang harus dimiliki oleh setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat.   Oleh karena itu, masyarakat saat ini menjadi “melek IT”, sehingga terlihat semakin maju. Namun, jika kita perhatikan masyarakat sekarang ini (terutama para pelajar) mengalami kemunduran. Bagaimana tidak, kita yang seharusnya menguasai IT, sekarang ini IT telah berbalik menguasai kita.

Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya terhadap kemajuan IT tersebut. Banyak orang yang menanggapi kemajuan IT itu dengan berbagai hal yang positif, seperti memanfaatkannya sebagai sarana untuk mempercepat pekerjaan, mendalami ilmu pengetahuan, sebagai sarana bisnis yang “halal”, dan dijadikan sarana penyambung silaturohmi antara sesama keluarga, kerabat, atau teman-teman seperjuangan yang tak lagi tinggal bersama. Namun, tak bisa kita pungkiri bahwasanya kemajuan IT tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab (agar tidak mengatakan bajingan) sebagai sarana mempermudah dalam melakukan aksi busuknya, misalnya penipuan bisnis secara online, penyebar-luasan situs-situs pornografi, bisnis prostitusi melalui media elektronik, dsb.
Akhir-akhir ini, praktek salah-kaprah terhadap pemanfaatan kemajuan IT yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab tersebut banyak kita jumpai di berbagai media elektronik, lembaran-lembaran koran cetak, majalah, atau beberapa media massa yang lainnya.

Berbagai macam praktek salah-kaprah tersebut kiranya perlu untuk kita bahas karena semua itu merupakan perilaku yang menyimpang dan sangat merugikan orang lain, bangsa dan negara. Tapi dalam tulisan kali ini, penulis hanya akan membahas tentang masalah bisnis prostitusi melalui media elektronik, dan lebih-lebih masalah ini menyangkut pada dunia pendidikan (para pelajar).

Sebagaimana telah dilansir oleh Kompas edisi 11 Juni 2013, bisnis prostitusi kini telah merabah pada dunia pendidikan, dimana NA (15), salah satu siswi SMP di Surabaya yang berprofesi sebagai mucikari, di samping menjual rekannya sendiri sesama siswi SMP kepada lelaki hidung belang. Dia juga menjual kakak kandungnya sendiri yang berusia tidak beda jauh dengannya. Di dalam transaksi dengan para pelanggannya, NA menggunakan fasilitas telepon dan pesan elektronik.

Korban pelacuran anak di Indonesia ini dapat dibilang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Ini sungguh sangat menyedihkan. Seorang anak terutama para pelajar merupakan generasi emas penerus bangsa yang dinanti-nantikan sepak terjangnya untuk perubahan Indonesia di masa yang akan datang. Kini telah pupus harapan lantaran ulah bejat dari para hidung belang dan para penguasa sifat hedonisme. Mereka yang hanya memikirkan kesenangan dan kenikmatan diri mereka sendiri tanpa mau memikirkan kepentingan orang lain, bangsa, dan negara.

Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), pada tahun 2008, sekurangnya terdapat 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi di setiap tahunnya. Angka itu meningkat 100 persen lebih dari statistik badan PBB, Unicef tahun 1998 yang mencatat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi (kompas.com, 14/10/2008).

Prostitusi anak-anak terutama para pelajar merupakan masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian secara khusus karena keberadaannya dapat memberikan dampak yang serius terhadap pertumbuhan mereka. Anak-anak yang dijadikan pelacur rentan terhadap hinaan, eksploitasi, penipuan, marjinalisasi, dan banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk berkembang secara sehat. Di samping itu, kebudayaan buruk ini juga dapat melemahkan moral bangsa Indonesia yang selama ini telah dikenal sebagai negara yang sopan-santun, dan ramah tamah. 

Hal serupa dengan pelacuran tapi justru lebih tersebar luas dan bahkan lebih berbahaya mengancam terhadap kemajuan bangsa adalah pergaulan (seks) bebas, perzinaan tanpa unsur komersil dan dilakukan suka sama suka. Saat ini, hal tersebut telah menjadi suatu hal yang biasa dan bahkan sudah menjadi budaya bagi kaum muda yang notabene sebagai penerus bangsa. Perilaku bejat itu dijadikan tren saat ini. Sepasang kekasih yang tidak melakukan hal yang dilarang oleh hukum agama tersebut dikatakan tidak jantan, katrok, kampungan, atau sebutan yang lain oleh teman-temannya. Sungguh ironi bukan?

Seiring dengan perkembangan IT saat ini, kaum pemuda (para pelajar) tanpa diliputi rasa malu, mereka sengaja merekam kemudian menyebarluaskan adegan asusila yang mereka lakukan tersebut kepada masyarakat. Sebagaimana hal ini telah terjadi pada sepasang kekasih dari salah satu sekolah SMK di kabupaten Probolinggo, Jatim beberapa pekan yang lalu.

Peristiwa yang telah terjadi saat ini sungguh sangat menyesakkan dada. Para pelajar yang notabene sebagai generasi emas penerus bangsa kini telah melakukan tindakan yang tak terpuji dan bahkan sangat memalukan. Seorang pelajar yang tugas pokoknya adalah belajar dan membaca, kini mereka telah melupakan tugas tersebut. Dunia pendidikan yang konon dikatakan sebagai tempatnya orang-orang yang pandai, ceerdas dan beretika kini telah berubah menjadi sarang incaran para hidung belang. Semua ini dapat mengakibatkan terjadinya degradasi moral yang sangat menakutkan, dan pada gilirannya akan menuju pada kehancuran bangsa Indonesia di masa mendatang.

Rendahnya pengawasan dan berkurangnya perhatian orangtua maupun guru di sekolah dapat dikatakan menjadi bagian dari penyimpangan perilaku anti sosial tersebut. Bagaimana tidak? Kebanyakan orangtua saat ini lebih mementingkan pekerjaannya daripada masa depan anak-anaknya. Kasih sayang yang mereka berikan pada anak-anaknya hanya berupa belaian lembaran uang. Artinya, orangtua saat ini hanya memenuhi segala sesuatu yang diminta oleh anaknya tanpa memperhatikan tingkah-laku yang dilakukan di belakang permintaannya tersebut. Begitu juga dengan guru di sekolah, mereka di dalam mengajar hanya sebatas memberikan materi yang telah ditargetkan oleh pihak sekolahan tanpa adanya keteladanan kepada para siswanya. Di samping itu, kemajuan IT dan kondisi masyarakat yang ada di sekitar para pelajar juga memberikan dampak yang sangat besar terhadap terjadinya tindakan asusila tersebut. 

Walhasil, untuk menghindari perilaku memalukan pada para pelajar tersebut sangat diperlukan pengawasan, perhatian, serta keteladanan dari orangtua dan guru yang ada di sekolah tempat mereka belajar. Di sampaing itu, dukungan dari masyarakat untuk membersihkan hama moral tersebut sungguh sangat diperlukan demi tercapainya negara yang beradab, bermoral, bersih dari tindakan asusila, serta terbentuknya bangsa yang terdidik bukan sebatas pendidikan secara formalitas belaka.

Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humaniora) IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat: 27 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar