Akhir-akhir ini, banyak beredar berita tentang pornografi-pornoaksi
di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Kasus ini rupanya telah
menjamah ke berbagai belahan di penjuru bangsa kita, Indonesia. Dulu,
pornografi dan pornoaksi merupakan suatu hal yang sangat tabu bagi bangsa kita,
sekarang berubah menjadi hal yang biasa –bahkan menjadi salah satu kebudayaan--
bagi para penggemar “bercinta sebelum nikah” (pacaran). Buktinya, hampir setiap
hari media massa selalu menyuguhkan berita tentang kasus ini.
Lebih-kurang sebulan yang lalu, publik, khususnya masyarakat yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan dibuat malu dengan sebuah pameran video
asusila SMPN 4, Jakarta. Lembaga pendidikan, yang notabene mendidik para
siswanya agar menjadi manusia yang berintelektual tinggi, berkarakter dan
mertabat, tak mampu membendung perilaku bejat tersebut karena dampak dari
pornografi-pornoaksi yang semakin bebas di negara kita saat ini. Bukannya
pendidikan karakter itu hanya akan dapat dicapai jika penyampaiannya kepada
peserta didik melalui cara dicontohkan (diteladankan), bukan hanya diajarkan? Oleh
karena itu, keadaan lingkungan dari peserta didik sangat besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan pendidikan karakter tersebut.
Selanjutnya, beberapa minggu yang lalu, kota Surabaya juga digemparkan
oleh perilaku bejat dari seorang ibu rumah tangga yang melampiaskan nafsunya
kepada para pelajar. Mulai dari anak SD, SMP dan SMA. Sebagaimana diberitakan, ibu
ini bernama Maslikah (34). Meski dia telah mempunyai suami dan dikarunia dua
anak, dia sering melakukan perbuatan bejat ini, sampai-sampai lupa sudah berapa
dia melakukannya. Di samping itu, satuan polisi yang melakukan razia ke
beberapa hotel yang berada di berbagai daerah di Indonesia, juga berhasil menjaring
banyak pasangan (tanpa ada ikatan nikah) melakukan perbuatan asusila. Sungguh
ironis bukan?
Masyarakat Indonesia, yang notabene masyarakat Timur, acapkali
dianggap sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan.
Dengan seketika, kini telah berubah bak masyarakat Barat yang dianggap oleh publik
sebagai lambang pengumbaran nafsu seksual secara bebas tanpa norma dan susila.
Hal ini terjadi tidak lain karena kasus pornografi dan pornoaksi yang semakin
lama semakin menjalar di negara kita ini.
Istilah pornografi jika dilacak pengertiannya secara etimologis
berasal dari Yunani kuno “porne” yang berarti wanita jalang, dan “graphos”
yang artinya gambar atau lukisan. Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pornografi diartikan sebagai: (1) penggambaran tingkah laku secara
erotis dengan lukisan atau untuk membangkitkan nafsu birahi, mempunyai
kecenderungan merendahkan kaum wanita; (2) bahan yang dirancang dengan sengaja
dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks.
Beberapa istilah yang seringkali dikaitkan dengan pornografi
diantaranya adalah pornokitsch yang bermakna selera rendah; obscenity
yang bermakna kecabulan, keji dan kotor, tindak senonoh, melanggar kesusilaan
dan kesopanan. Sedangkan, pengertian pornoaksi adalah perwujudan melalui suatu
tindakan dari hal-hal yang terkandung maknanya dalam pornografi tersebut (Anita
Widarti sebagaimana dikutip oleh Kutbuddin Aibak, 2009).
Berawal dari pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahwasanya pornografi
dan pornoaksi merupakan perbuatan yang tercela dan sangat tidak patut untuk
dipraktikkan dalam peradaban bangsa ini. Selebihnya, sebagai bangsa yang besar,
yang terlanjur dikenal oleh manca negara sebagai bangsa yang adib
(beradab dan bermoral), seharusnya kita selalu mempertahankan serta menunjukkan
kekonsistenan kita dalam berperilaku yang sopan, santun, ramah-tamah dan bermoral
kepada mereka. Bukan malah sebaliknya, mengikuti peradaban Barat yang dapat merusak
moral asli bangsa kita sendiri.
Pornografi dan pornoaksi ini memberikan dampak yang buruk terhadap
kelangsungan peradaban bangsa kita. Pornografi-pornoaksi selain akan membuat
pikiran kita berorientasi pada hal-hal yang berbau seks, juga akan menggiring
pada perubahan tata nilai. Nilai-nilai religus akan tergusur dan kepedulian
masyarakat terhadap nilai-nilai sosial akan semakin melemah. Padahal,
nilai-nilai tersebut sangat berpengaruh besar terhadap perubahan ke arah yang
lebih baik dan bermartabat pada suatu susunan sosial (bangsa dan negara). Bagaimanakah
keadaan bangsa ini sepuluh atau bahkan setahun lagi jika masyarakatnya apatis
terhadap nilai-nilai sosial dan religius?
Lebih parahnya lagi, pornografi dan pornoaksi tersebut dapat
merubah perilaku yang mulanya mengutamakan intelektualitas dan budaya tinggi
berupa kreativitas dan kasih sayang berganti menjadi budaya rendahan seperti
seks dan beberapa perbuatan buruk lainnya. Hal inilah yang menyebabkan
pornografi dan pornoaksi dapat merusak atau bahkan menghancurkan moral dari
suatu bangsa.
Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Akademisi di Fakultas Adab (Sastra dan Humanior),
UIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat: 3 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar