Rabu, 03 Desember 2014

Upaya Mewujudkan Perdamaian antara Muhammadiyah dan NU

Judul buku: Muhammadiyah itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan
Penulis: Muchammad Ali Shodiqin
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, Februari 2014
Tebal buku: xxii + 309 halaman
ISBN: 978-602-1306-03-1 

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ (NU) merupakan dua ormas Islam yang tertua sekaligus memiliki pengikut terbesar di negeri ini. Oleh karena itu, segala permasalahan yang muncul dari kedua ormas Islam ini akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap keberlangsungan aktifitas berbangsa dan bernegara. Keduanya bagaikan sang saka merah-putih. Dulu, pada masa penjajahan, persatuan diantara keduanya dapat mengantarkan Indonesia kepada gerbang kemerdekaan.

Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan di antara keduanya semakin merenggang hingga berujung pada yang namanya perpecahan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh politik. Politiklah yang membuat mereka itu berseberangan. Politiklah yang menciptakan adu domba di antara keduanya. Padahal, jika ditelisik dari sisi sejarahnya, Muhammadiyah dan NU itu akarnya sama. Sama sejarahnya, tunggal guru, tunggal ilmu, bahkan satu keluarga. Kiai Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Hasyim NU adalah sama-sama keturunan Sunan Giri. Sunan Giri adalah anak Maulana Ishaq yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah binti Rasulullah (halaman 13-14).

Perpecahan itu diperburuk lagi dengan adanya perbedaan fiqih. Perbedaan ini terkadang dapat memicu timbulnya ganjalan-ganjalan dalam hubungan bermasyarakat. Akibatnya, umat Islam menyimpan rasa tidak suka antar sesamanya. Umat Islam saling mengeklaim bahwa pahamnyalah yang paling benar dan paham orang lain itu salah. Dari sinilah potensi konflik akan tumbuh. Jabatan-jabatan publik juga terpengaruh, sehingga pemerintahan tidak bisa menegakkan keadilan dengan sepenuhnya. Pada akhirnya, negara pula yang jadi korbannya. 

Berdasar pada fenomena itulah, Muchammad Ali Shodiqin menyusun buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini ingin memublikasikan kembali dokumen fiqih yang terlupakan (Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 jilid tiga yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924) kepada khalayak umum khususnya warga Muhammadiyah dan NU.

Isi dari kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 jilid tiga itu sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU (halaman 12). Jadi, dapat disimpulkan bahwa Kiai Dahlan dan warga Muhammadiyah dalam melaksanakan ibadah keagamaan ketika itu sama dengan model pelaksanaannya warga NU. Dengan kata lain, di masa awal berdirinya, fiqih Muhammadiyah itu  menggunakan mazhab syafi’i yang sama dengan NU.

Pada masa berikutnya, sejarah fiqih (tarikh tasyri’) Muhammadiyah mengalami perkembangan (perubahan). Masa-masa atau periode perkembangan fiqih Muhammadiyah itu bisa disimpulkan sebagai berikut: Masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa HPT (1967-1995), dan Masa Pembauran HPT-Globalisasi (1995-kini).

Beberapa fase perkembangan fiqih Muhammadiyah ini memiliki tandanya masing-masing. Pada masa Syafi’i, Muhammadiyah yang didirikan oleh Kiai Dahlan merupakan organisasi keagamaan Islam yang bermazhab Syafi’i. Selanjutnya, pada masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi ditandai dengan perubahan sikap Muhammadiyah dari lunak ala Kiai Dahlan ke keras ala Sutan Mansur. Masa ini juga ditandai dengan kemenangan Ibnu Saud yang berpaham Wahhabi dalam menaklukkan kota Makkah-Madinah dan hendak mendirikan kekhalifahan berpaham Wahhabi (1925), di mana Muhammadiyah menyambut baik kemenangan itu (halaman 31-60). Hal inilah yang melatar belakangi terjadinya perpecahan antara Muhammadiyah dengan NU. Saat Muhammadiyah terpikat dengan kemenangang Ibnu Saud, suara ulama-ulama pesantren yang kurang sependapat dengan sikap Muhammadiyah tak terwakili. Di titik itulah NU lahir tahun 1926 untuk memprotes secara langsung si Raja Arab itu, sebab paham Wahhabi akan menggusur semua amalan khas pesantren. Protes itu pun manjur hingga Ibnu Saud membatalkan niatnya di tahun 1927.

Masa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) ditandai dengan penghapusan ciri khas mazhab Syafi’i sekaligus ciri khas paham Wahhabi. Ciri khas paham Wahhabi yang dihapus adalah pengharaman gambar Kiai Dahlan yang dicabut di tahun 1968, sehingga menjadi halal dipasang lagi. Sedangkan, ciri khas mazhab Syafi’i yang dihapus dari HPT adalah qunut, yang penghapusannya dilakukan lewat Mu’tamar Tarjih di Pekalongan tahun 1972. Kemudian, pergantian masa HPT ke masa HPT-Globalisasi ditandai dengan berkembangnya paham-paham global dari luar Islam ke dalam Muhammadiyah, di antaranya yaitu isu gender, demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bahkan isu-isu kedokteran mutakhir (halaman 83-84).

Terlepas dari semua itu, perlu ditekankan bahwa, buku ini bukanlah sebuah pukulan untuk warga Muhammadiyah dan juga bukan simbol kemenangan dari warga NU. Penulisnya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari anggapan seperti itu. Selain mengolah bahasa yang indah-mendamaikan, ia juga berusaha agar buku ini menjadi suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, yaitu suara dari orang yang mencintai Muhammadiah. Hal ini dapat kita ketahui dari buku-buku yang sengaja ia jadikan referensi dalam penyusunan buku ini. Selain kitab Fiqih Muhammadiyah 1924, lebih dari sembilan puluh persen buku yang dijadikan referensi oleh penulis adalah buku terbitan penerbit yang sepaham dengan Muhammadiyah.

Akhirnya, buku ini lebih merupakan sebuah upaya jabat tangan (perdamaian) sejarah dan rangkulan persaudaraan sekaligus menjadi pintu perdamaian antara Muhammadiyah dengan NU. Pintu yang dapat membuka kata “harapan” dari warga Muhammadiyah dan membuka kata “maaf” dari warga NU. Karena, hanya dengan keduanya, yakni harapan dan maaf itulah sebuah perdamaian akan terwujud. Selamat membaca!

Dimuat di Harian Kabar Probolinggo, 3 Desember 2014


Jumat, 24 Oktober 2014

Kiat Mengubah Diri

Judul buku: Metamorfosa: Change Your Life, Touch Your Dream
Penulis: Rahman Patiwi
Penerbit: Mizania
Cetakan: I, Mei 2014
Tebal Buku: 166 halaman
ISBN: 978-602-4255-87-4

Setiap orang yang terlahir ke dunia ini pasti diberikan ciri khas masing-masing oleh Tuhan. Sekali pun di antara mereka ada yang terlahir kembar, pasti selalu ada perbedaannya, baik dari segi fisik maupun sifatnya. Begitu juga dengan kemampuan yang dimiliki seseorang, selalu ada perberbedaan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan itu Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Dia-lah sang pencipta segala apa yang ada di jagat raya ini.

Segala sesuatu yang Tuhan inginkan pasti akan terjadi, termasuk nasib kehidupan seseorang. Namun, terkadang kita mengklaim bahwa hanya orang kayalah yang dapat hidup bahagia, sedangkan orang miskin itu selalu hidup sengsara. Anggapan seperti itu belum tentu selaras dengan “skenario” Tuhan. Bisa jadi yang ada justru malah sebaliknya. Untuk itu, berprasangka baik kepada-Nya adalah hal yang harus selalu kita lakukan, baik dalam keadaan senang maupun susah. Kita juga perlu berprasangka baik kapan pun dan di mana pun berada.

Termasuk perbuatan yang keliru ketika kita dalam keadaan miskin harta ialah beranggapan bahwa kita ini bukan siapa-siapa (no one), sehingga mengakibatkan kita cenderung bersantai-santai dalam berusaha mengarungi dinamika kehidupan. Kita kemudian menyalahkan takdir ketika tertimpa kegagalan atau mengungkapkan beberapa keluhan lainnya untuk sekadar menutupi kesalahan diri sendiri. Padahal, untuk menjadi seseorang yang diperhitungkan (someone), kita dituntut selalu optimis, berusaha keras, dan tak kenal keluh kesah dalam mewujudkan semua impian.

Bersikap optimis, berpikiran positif, bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas adalah kunci utama untuk mendapatkan apa saja yang kita inginkan (hal. 40-41). Dengan pikiran yang positif, segala sesuatu yang terjadi pada diri kita meskipun terasa pahit dan menyakitkan tidak serta merta menjadi objek keluh kesah. Sebaliknya, ia malah menjadi pelajaran yang sangat berharga sekaligus pemantik semangat yang baru dan powerful. Dengan pikiran positif pula, kerja keras, kerja cerdas, serta kerja ikhlas itu akan terasa lebih ringan untuk dilaksanakan.

Selain itu, konsep nilai yang harus kita tanamkan dalam diri untuk meraih impian adalah senantiasa meningkatkan kemampuan (valensi) dan prestasi diri (hal. 70). Jangan jadikan to have atau materi sebagai titik fokus dalam perjalanan meraih keinginan.Sejatinya, to have  itu akan mengalir sendiri melalui mekanisme alam. Ia mengalir sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang ada pada diri masing-masing. Bukankah orang yang berprestai dan memiliki kemampuan diri yang lebih akan lebih mudah mendapatkan materi ketimbang yang tidak?

Valensi diri adalah keseluruhan tindak tanduk, metode berpikir, cara bersikap yang melahirkan keputusan, dan tindakan yang menjadi acuan untuk menentukan takaran dan kualitas diri kita (hal. 85). Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan kualitas diri adalah dengan meningkatkan valensi diri. Semakin tinggi tingkat valensi diri seseorang, semakin terbuka kemungkinan terjadi perubahan dalam hidupnya. Orang yang tingkat valensinya tinggi senantiasa suka akan tantangan yang baru.

Buku Metamorfosa: Change Your Life, Touch Your Dream merupakan buku yang mencatat perjalanan panjang seorang sopir angkot bernama Rahman Patiwi. Ia punya keinginan untuk menjadi seorang trainer kondang. Akhirnya, dia berhasil membuktikan bahwa kesuksesan dalam mengarungi kehidupan ini tidaklah diukur dari segi kaya atau miskinnya seseorang, melainkan ditentukan oleh kehendak Tuhan yang memberikan hadiah kesuksesan kepada kita yang mau bekerja keras dan tak pernah menyerah dalam mewujudkan semua impian.

Ibarat dalam ilmu perdagangan, antara harga dan kualitas itu saling berkorelasi. Harga ditentukan penjual, kualitas berada di tangan pembeli. Begitu juga dalam meraih sebuah impian. Hasil adalah sesuatu yang berada dalam kuasa Tuhan, sedangnkan cara (usaha) berada dalam genggaman kita sebagai pelaku usaha tersebut.

Selain merangkum perjalanan hidup dari sang penulis, buku ini juga berisi tentang kiat-kiat praktis untuk menggapai hidup yang lebih baik; dari biasa-biasa saja menjadi luar biasa; dari tak berharga menjadi istimewa. Bahasa yang digunakan pun cukup ringan, sehingga mudah untuk difahami oleh berbagai kalangan. Oleh karena itu, buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh orang-orang yang ingin bermetamorfosis from no one to someone. Selamat membaca.

Dimuat di eramadina.com, 24 Oktober 2014

Selasa, 16 September 2014

Ketika Sastra Menelusuri Hakikat Makna Puasa

Judul Buku: Tafsif Sastrawi, Menelusuri Makna Puasa Dalam Al-Quran
Penulis: Wali Ramadhani
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Mei 2014
Tebal Buku: 176 halaman
ISBN: 978-602-1337-13-4

Pada dasarnya, puasa merupakan suatu ibadah yang cukup berat untuk kita kerjakan. Betapa tidak, keperluan-keperluan naluriah/biologis yang manusiawi (makan, minum, melakukan hubungan suami-istri, dan lain-lain) dilarang dilakukan sedari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. 

Menyadari akan beratnya ibadah puasa tersebut, Al-Quran telah menyiapkan suatu “strategi komunikasi” yang hebat sehingga para pembaca/pendengarnya terdorong untuk melaksanakannya dengan hati yang ringan dan ikhlas. Buktinya, ketika bulan Ramadhan tiba, banyak di antara kaum muslim (yang beriman) yang selain menjalankan ibadah puasa, mereka juga sangat antusias untuk mengerjakan amal kebaikan yang lain, seperti salat tarawih, tadarusan, saling bersedekah antara satu dengan yang lainnya, dll.

Melalui buku ini, Wali Ramadhani mencoba untuk menelaah “strategi komunikasi” Al-Qur’an tersebut melalui tafsir sastrawi atas ayat-ayatnya yang berbicara tentang puasa. Di dalam melakukan kajiannya terhadap ayat-ayat puasa tersebut, ia menggunakan teori penedekatan sastra yang digagas oleh Amin al-Khuli (1895-1996).

Tafsir sastrawi Amin al-Khuli ini merupakan tindak lanjut dari keberanian Muhammad ‘Abduh yang mengkritisi produk-produk tafsir terdahulu, terlebih lagi produk-produk tafsir yang erat kaitannya dengan kepentingan-kepentingan tertentu, seperti ideologi, politik, dan lainnya. Dengan kata lain, tafsir ini bertujuan untuk memandang Al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar yang memiliki pengaruh sastrawi terdalam. Sehingga, selain sebagai kitab agama yang suci yang diturunkan oleh Allah Swt. melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw., Al-Qur’an juga dapat dikatakan sebagai teks yang menjalankan pengaruhnya dan efektivitasnya terhadap umat Islam dan juga non-Muslim melalui karakteristik kebahasaan dan artistik yang khas, yang membedakan dari teks-teks lainnya (hlm 26-28).  

Dalam proses menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Amin al-Khuli menyarankan kepada para penafsir agar melakukan tiga kajian utama untuk mendapatkan makna atau maksud dari ayat-ayat tersebut secara tepat dan utuh. Tiga kajian utama tersebut diantaranya adalah kajian seputar Al-Qur’an (dirasah ma hawla al-Qur’an), yaitu mengkaji mengenai proses turunnya Al-Qur’an, penghimpunannya, perkembangannya, dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai objek wahyu beserta variasi cara bacanya (qira’ah) serta bagaimana aspek sosial-historis dari Al-Qur’an tersebut. 

Kajian selanjutnya yaitu mengenai Al-Qur’an itu sendiri (dirasah ma fi al-Qur’an) yang meliputi kajian terhadap kosakata dan susunan kata (murakkabat)-nya. Kemudian, kajian terakhir yang harus diperhatikan dalam tafsir sastrawi yaitu mengenai aspek psikologis (al-tafsir al-nafs). Yang menjadi fokus dalam aspek ini adalah rahasia-rahasia (motif) di balik gerakan-gerakan jiwa manusia dalam berbagai ranah dan bidang yang disentuh oleh misi keagamaan Al-Qur’an, dialog doktrineral Al-Qur’an, pengolahan Al-Qur’an terhadap intuisi dan hati, penerimaan Al-Qur’an terhadap masa lalu yang memang dapat diterima jiwa dan diwarisi  secara turun-temurun dari generasi ke generasi (hlm. 30-33).

Berdasar pada tiga kajian utama itulah, dalam buku ini, penulis mencoba menafsirkan ayat-ayat tentang puasa (Al-Baqarah/2: ayat 183-185). Secara sistematis, susunan ayat dari ketiga ayat tersebut sangat menyentuh psikologis para pembacanya. Ayat tentang puasa ini dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman, walau seberat apa pun, untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan yang dimulai dengan panggilan mesra, “wahai orang-orang yang beriman”. 

Selanjutnya, dalam menjelaskan kewajiban melaksanakan ibadah puasa, khususnya puasa Ramadhan kepada hamba-Nya, Allah tidak menyebutkan nama-Nya secara langsung pada ayat 183 tersebut. Menurut Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M. Ag., dalam pengantarnya, ia mengatakan bahwa hal ini mengisyaratkan apa yang akan diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan setiap kelompok, sehingga andaikata bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkannya atas dirinya sendiri (halaman 17). 

Dalam mewajibkan ibadah puasa kepada para hamba-Nya, selain menggunakan panggilan yang mesra, Allah memberikan perumpamaan dengan puasanya “kaum terdahulu”, meski sejatinya rincian cara pelaksanaannya berbeda-beda. Hal ini memberikan kesan bahwasanya ibadah puasa itu dapat atau bahkan ringan untuk dilaksanakan, meski sejatinya ibadah tersebut sangatlah berat untuk dilaksanakan. Kewajiban puasa tersebut dimaksudkan supaya manusia bertakwa, yakni terhindar dari segala sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi.

Bahasa Al-Qur’an memang sangatlah indah, berbeda dengan bahasa manusia pada umumnya. Dalam mewajibkan puasa, di samping menyapa para pembacanya dengan sebutan yang mulia (wahai orang-orang yang beriman), ia menjelaskan terlebih dahulu tentang tujuan dari diwajibkannya puasa tersebut (takwa). Setelah itu, pada ayat selanjutnya (Al-Baqarah: 184), dijelaskan tentang keringanan-keringanan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang terpaksa tidak mampu melaksanakan ibadah puasa pada waktu yang telah Ia tentukan. Dan, baru kemudian, pada ayat 185, Allah menjelaskan tentang berapa lama ibadah puasa itu harus dilaksanakan. Susunan ayat yang demikian sangatlah indah, berbeda dengan susunan bahasa manusia pada umumnya. Sekedar contoh: pada saat suatu lembaga atau komunitas akan mengadakan suatu perlombaan yang berhadiah, kebanyakan dari mereka dalam menginformasikan lomba tersebut pada suatu pamphlet atau brosur, mereka lebih mengutamakan informasi tetang syarat-syarat untuk mengikuti perlombaan tersebut ketimbang besar hadiah yang akan diberikan kepada para pemenangnya. Betul demikian, bukan?

Akhirnya, buku ini layak untuk diapresiasi secara positif, mengingat materi yang disuguhkan dalam buku ini dapat menambah wawasan kita tentang memahami ayat-ayat Al-Qur’an melalui penedekatan sastrawi, walaupun sebenarnya masih ada beberapa hal yang kiranya mesti juga disinggung oleh penulis seperti biografi Amin Al-Khulli sendiri, sehingga para pembaca juga mengetahui profil dari Al-Khulli, karena, pada dasarnya Al-Khulli bukanlah peletak ide dasar metode tafsir sastrawi. Namun, meskipun demikian, peran Al-Khulli dalam pengembangan metode tafsir sastrawi tidaklah bisa dipandang sebelah mata. 

*) Pernah Dimuat di NU Online, 1 September 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Mengatasi Problematika Pernikahan

Judul Buku: Halaqah Cinta: Follow Your Prophet, Find Your True Love
Penulis: @teladanrasul
Penerbit: QultumMedia
Cetakan: Pertama, Februari 2014
Tebal: vi+302 halaman
ISBN: 978-979-017-280-7
Peresensi: Wahyu Eko Sasmito, Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Surabaya

Menikah merupakan suatu ibadah yang mulia dan sangat diidam-idamkan oleh setiap insan manusia yang normal. Karena, melalui pernikahan manusia (pria dan wanita) dapat mengikuti fitrah mereka untuk berkasih sayang, memenuhi kebutuhan akan perhatian dan lembutnya cinta, serta keduanya akan berusaha menjalankan tanggung jawab sebagai pasangan, bukan dengan cara yang kotor dan membawa kerusakan (hlm.10).

Melalui proses pernikahan, “sesuatu” yang semula hina menjadi mulia, haram menjadi halal, dan yang awalnya dosa menjadi sumber pahala yang tak terhingga. Proses inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Selain perihal di atas, menikah merupakan salah satu sunah Rosulullah SAW yang sangat dianjurkan keberadaannya.

Hal ini dijelaskan oleh Nabi melalui hadisnya sebagai berikut:   “Menikah adalah sunahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunahku, ia bukan termasuk golonganku. Menikahlah, karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat. Barangsiapa memiliki kemampuan untuk menikah, menikahlah! Dan, barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya dari berbagai syahwat” (HR. Ibnu Majah).

Namun, di balik semua itu, untuk menuju suatu gerbang pernikahan, banyak diantara kita (khususnya bagi yang sudah memasuki usia nikah) yang mengalami berbagai macam problematika, misalnya belum mempunyai pekerjaan tetap, belum dapat izin orang tua, ingin berbakti dulu kepada orang tua, belum nemu yang cocok, terlalu memilih yang perfect, adanya pengalaman buruk di masa lalu, belum pede, takut ini-itu dan lain sebagainya. Sehingga, mengakibatkan pernikahan itu tetap kembali menjadi sebuah keinginan yang masih berada di angan-angan, belum menjadi suatu realita yang di dalamnya penuh dengan samudera pahala.

Buku Halaqah Cinta: Follow Your Prophet, Find Your True Love ini berisi tentang tip dan trik untuk mengatasi berbagai macam problematika pernikahan sebagaimana dijelaskan di atas. Di samping itu, buku ini juga menawarkan berbagai cara untuk menjaga kemesraan dan keharmonisan keluarga pascapernikahan ala Rosulullah SAW kepada semua istri-istrinya. Agar di dalam suatu keluarga itu dapat terhindar dari perkelaian, perpecahan atau bahkan perceraian.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana sekaligus komunikatif, sehingga isinya sangat mudah untuk difahami. Membacanya, kita terasa berkomunikasi dengan penulisnya secara langsung. Dan, inilah yang membuat buku ini sangat sayang jika dilewatkan.

Dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 11 Mei 2014.
Wahyu Eko Sasmito merupakan penduduk asli di desa Bonggi, Gambiranom, Kismantoro, kota Cassava (Gaplek), Wonogiri, Jawa Tengah. Sekarang tinggal di Jalan Jemur Wonosari, Gang 3, Nomor 17, Wonocolo, Surabaya. Di Surabaya ini, dia sedang mengarungi samudra ilmu pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya. 

Sejak awal memasuki dunia kampus (2011), dia mulai mengenal dunia kepenulisan dari beberapa teman seperjuangannya yang giat menulis beberapa artikel hingga tembus ke berbagai media di negeri ini. Dan, karena itulah dia juga tertarik untuk menekuni dunia kepenulisan tersebut. Hingga akhirnya, beberapa media baik cetak maupun elektronik mampu ditembusnya, diantaranya yaitu: Suara Karya, Banjarmasin Post, Batam Pos, Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Koran Madura, Metro Riau, Media Indonesia.com, WAWASANews, Wasathon.com, Eramadina, dll.

Saat ini dia dapat dihubungi melalui beberapa alamat berikut: 
e-mail : sasmitowae@gmail.com
Blog : sasmitowae.blogspot.com
Twitter : @WahyuEkoSasmit1 (sasmitowae@gmail.com)
Facebook : Wahyu Eko Sasmito (wahyuekosasmito@yahoo.co.id)

Rabu, 09 Juli 2014

Refleksi Hardiknas: Menumbuhkan Kembali Spirit Pendidikan

Jum’at (2/5) kemarin, merupakan hari ulang tahunnya Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara. Di negeri ini, hari kelahiran beliau ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hal ini dikarenakan semangat dan tekad beliau di dalam memperjuangkan rakyat pribumi agar dapat menikmati pendidikan selama era kolonialisme Belanda sangatlah besar. Pada masa itu, beliau berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya saja yang bisa mengenyam bangku pendidikan, sedangkan rakyat miskin tidak diperbolehkan. Akibat dari aksi keberaniannya tersebut, beliau sempat diasingkan ke Belanda, dan kemudian beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia.  

Perbedaan strata sosial –kaya dan miskin—dalam dunia pendidikan kita saat ini telah tiada. Sekarang, orang kaya maupun miskin bebas menentukan pilihannya masing-masing dalam urusan menyekolahkan anak-anak mereka. Semua ini berbanding terbalik dengan zamannya Bapak Pendidikan kita, bukan? Yang membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga untuk sekedar mencicipi lezatnya susunan abjad-abjad. Namun, yang menjadi permasalahan sekarang adalah semangat (spirit) kita dalam mewujudkan cita-cita yang mulia dari Bapak Pendidikan tersebut mengalami penurunan atau bahkan hilang.

Pada era kolonialisme Belanda, para pejuang bangsa kita terdahulu mendapatkan ancaman dan tempaan dari bangsa penjajah ketika mereka menuntut ilmu. Namun, saat ini tempaan tersebut justru datang dari kalangan orang-orang dalam (para oknum pengelola institusi pendidikan) dan terkadang juga datang dari orang-orang terdekat para peserta didik itu sendiri. Sungguh ironis, bukan?

Sebagaimana trending topic dari berbagai media masa, baik cetak maupun elektronik dewasa ini, banyak memberitakan perihal hiruk-pikuknya problematika yang tengah terjadi di berbagai institusi pendidikan. Mulai dari adanya kasus “kawakan” yaitu perpeloncoan, perkelaihan antar pelajar, pelecehan seksual, hingga kasus pembunuhan di dalam institusi pendidikan hampir disuguhkan setiap harinya.  

Berawal dari terungkapnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pedofilia terhadap siswa taman kanak-kanak di Jakarta Internasional School (JIS) bulan lalu, pada giliran yang berikutnya, banyak muncul berita yang bermotif serupa; seperti terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswinya sendiri yang masih duduk di SMP Islam Sabilillah, Kota Malang, Jawa Timur (Kompas.com, 30/4). Kemudian, seorang pelajar putri tingkat SMA inisial HP (15) didampingi ayahnya RN (55), warga Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu, melapor ke Polda Bengkulu karena perlakuan asusila dari AZ dan beberapa rekannya selama 40 hari (Tribunnews, 30/4).

Selain kasus pelecehan seksual sebagaimana telah di sebutkan di atas, dunia pendidikan kita kembali ditampar oleh adanya kasus pembunuhan yang terjadi di dalamnya. RA (37) warga Pedukuhan Sedan Desa Sidorejo Kecamatan Lendah yang merupakan Bu Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Rela Bhakti 2 Wates dibunuh rekan sesama guru, Sug (45) warga Pengasih, Sabtu (03/05/2014). Sug tega membunuh diduga karena merasa jengkel terhadap korban. Korban tewas di perjalanan menuju rumah sakit setelah mendapat beberapa kali tusukan dari pelaku (KRjogja, 4/5). Di samping itu, berita yang masih hangat diperbincangkan pada pekan ini adalah kasus meninggalnya bocah kelas 5 SD Makasar 08/09, Jakarta Timur diduga karena dikeroyok oleh 5 kakak kelasnya cuma gara-gara si korban menumpahkan minuman mereka secara tidak disengaja.

Melihat realita yang ada, saat ini, dunia pendidikan kita seakan telah melupakan pesan agung dari sang Bapak Pendidikan, yaitu “Ing ngarso sung thulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. “Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”. Padahal, menurut penulis, semboyan ini merupakan kunci sukses dari suatu proses pendidikan.

Kaitanya dengan semboyan tersebut, yang berperan sebagai ing ngarso sung thulodo, di depan memberi contoh adalah guru. Guru itu (digugu lan ditiru), istilah inilah yang seharusnya benar-benar diimplementasikan dalam dunia pendidikan kita. Untuk menjadi seorang guru yang dapat digugu lan ditiru, selain memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, seorang guru dituntut untuk memiliki akhlak sekaligus budi pekerti yang luhur yang selalu dipraktikkan di dalam kehidupannya sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan sosialnya. Dari situ,  secara tidak langsung, pendidikan akhlak dan budi pekerti akan tersalurkan dengan baik kepada para peserta didik. Bukankah hal ini menjadi tujuan utama dari pendidikan karakter?

Sayangnya, untuk mewujudkan semua itu masih sangat sulit. Selama ini, mayoritas guru hanya mampu mengajar, belum sampai pada tahap mendidik peserta didik. Kebanyakan dari mereka hanya mengajar peserta didik untuk mengejar suatu target, yaitu barisan digit-digit angka yang berjajar vertikal di dalam lembaran rapot ataupun ijazah, dengan dalih agar tidak mendapatkan omelan dari atasan sekaligus gaji bulanan yang “menggiurkan”. Sedangkan, keteladanan akhlak sekaligus budi pekerti yang luhur sangat minim diterapkan atau bahkan dilupakan.

Rasanya kurang etis, jika hanya menyalahkan peran guru atau sistem pendidikan yang ada terkait dengan adanya beragam problematika pendidikan sekarang ini. Sebagai pelaku ing madya mangun karso, tut wuri handayani, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan, keadaan lingkungan dan kondisi keluarga juga memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam hal tersebut. Para orang tua dari peserta didik, seringkali lupa memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Mereka hanya disibukkan dengan pekerjaan, sedang pola pergaulan anak-anaknya kerap kali mereka abaikan. Kurangnya nasehat dan belaian kasih sayang dari orang tua inilah yang sering kali mengakibatkan para peserta didik itu berperilaku secara bebas, liar, hingga terkadang juga sampai pada perilaku yang merusak dan merugikan orang lain.

Di sisi lain, kurangnya keteladanan dari orang tua akibat minimnya interaksi dengan anak-anaknya (peserta didik) juga memberikan dampak yang negatif. Pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik akan sulit didapatkan oleh para peserta didik. Pada dasarnya, kehidupan keluarga merupakan tempat dimana pendidikan tersebut kali pertama sekaligus paling banyak di terapkan. Sehingga, akan mengalami ketimpangan jika proses pendidikan itu hanya berlangsung di lingkungan sekolah saja. Sistem pendidikan yang ada di sekolah hanya berupa cara pembelajaran yang ditawarkan. Namun, penentu keberhasilan dari pendidikan tersebut tetap tidak terlepas dari adanya peran guru dan terlebih lagi peran orang tua dan keadaan lingkungan yang ada.

Akhirnya, sebagai refleksi Hardiknas pada tahun ini, kiranya kita harus merenungkan kembali semboyan dari Bapak Pendidikan kita, yaitu “Ing ngarso sung thulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” untuk menumbuhkan kembali spirit pendidikan, sebagaimana pernah beliau gelorakan pada zaman kolonialisme Belanda beberapa abad yang lalu. Tujuan utama dari sebuah proses pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang cerdas, berpengetahuan yang luas serta dihiasi dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Dan, untuk mewujudkan semua itu, tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Semua oknum dari institusi pendidikan, semua orang tua serta lingkungan yang baik dari peserta didik harus saling mendukung satu sama lain. Dengan begitu, tujuan utama dari suatu proses pendidikan lambat laun akan segera terwujud. Yaitu, pendidikan yang mencetak manusia yang cerdas, berpengetahuan luas sekaligus dihiasi dengan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Wallahu a’lam bi showab.

Dimuat di Batam Pos, 8 Mei 2014.

Mengingatkan Kematian dengan Cerita

Judul Buku: Dekapan Kematian, Saat Belahan Jiwa Pergi Meninggalkanmu
Penulis: Oki Setiana Dewi
Penerbit: Mizania, Bandung
Cetakan: III, Januari 2014
Tebal Buku: 235 halaman
ISBN: 978-602-9255-68-3
Peresensi: Wahyu Eko Sasmito, Penikmat Buku Sekaligus Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Surabaya

Kematian merupakan suatu perihal yang pasti akan terjadi pada setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi ini. Kejadiannya tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah Swt. Ketika kematian telah tiba waktunya, ia tak peduli terhadap ruang, keadaan, dan waktu. Dengan kata lain, terjadinya kematian itu tidak dapat dinegosiasi adanya.

Usia muda tak menjamin akan mati belakangan. Begitu pula sebaliknya, usia tua tak menjamin akan segera pulang kepada-Nya. Ketika kematian seseorang telah tiba saatnya, tempat persembunyian yang aman sekalipun tidak dapat digunakan untuk menghindarinya. Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman, “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS Al-Nisa’ [4]: 78).

Kematian adalah awal atau pintu gerbang menuju kehidupan abadi (hlm. 14). Sementara kehidupan di dunia ini hanyalah bersifat sementara. Segala keindahan, kenikmatan, kesenangan  yang ada di dalamnya hanya bersifat memperdaya. Dalam hal ini, Allah Swt. telah memperingatkan kita semua melalui firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 185: Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada Hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surge, sungguh ia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itui tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.   

Berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa setelah kehidupan di dunia ini masih ada kehidupan yang lain, yaitu Hari Kiamat (akhirat). Akhirat merupakan tempat kehidupan yang abadi. Oleh karena itu, untuk menghadapi kehidupan yang abadi tersebut, kita dituntut untuk menyiapkan bekal yang cukup selama hidup di dunia ini. Yakni, selalu beribadah kepada Allah Swt., seperti mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa, bershadaqah, dan beberapa amal kebaikan lainnya.

Namun, sayangnya tak semua orang yang hidup di dunia ini mempercayai adanya hal tersebut. Mereka menganggap bahwa hidup di dunia ini adalah kehidupan yang terakhir, sedangkan kematian merupakan akhir dari kehidupan itu sendiri. Sehingga, tak heran, jika dalam menjalani kehidupan di dunia ini mereka cenderung hidup berfoya-foya untuk memuaskan hawa nafsunya saja tanpa mempedulikan persiapan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.

Tak jauh berbeda, banyak juga orang yang mempercayai adanya kehidupan akhirat melakukan hal yang serupa, berfoya-foya dan memuaskan hawa nafsunya. Hal ini disebabkan karena mereka sering menyepelekan terhadap kehidupan itu sendiri. Meresa masih muda, sehat, kuat, mereka menganggap hidupnya masih lama lagi. Sehingga yang terjadi tidak lain hanyalah selalu ingin menunda dalam melakukan amal kebaikan. 

Melalui buku Dekapan Kematian, Saat Belahan Jiwa Pergi Meninggalkanmu ini, penulis hendak menyampaikan pesan kepada kita semua agar segera tersadar dari pemikiran yang keliru tersebut. Dan, mengajak kita semua untuk melakukan berbagai amal kebaikan yang sering kita tunda-tunda guna mempersiapkan bekal kehidupan selanjutnya pasca kematian.

Buku ini berisi kumpulan kisah nyata seputar kematian yang dialami oleh sahabat-sahabat penulis. Yang mana, dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringan dan mudah untuk difahami dengan alur cerita yang mengalir begitu saja, membuat kisah-kisah tersebut dapat mengetuk hati yang begitu dalam, sehingga dapat menyadarkan kita semua akan begitu dekatnya kematian itu dengan diri kita. Sewaktu-waktu, kematian dapat merenggut nyawa kita semaunya tanpa mempedulikan ruang, waktu dan keadaan kita.

Di samping itu, buku ini juga mengajarkan tetang bagaimana caranya menghadapi kematian secara bijak. Yakni, kita harus ridlo, sabar dan ikhlas bila suatu saat orang-orang yang kita cintai, baik itu ibu, bapak, adik, kakak, atau yang lainnya diambil oleh-Nya. Pada dasarnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali. Inna lillahi wa ina ilaihi raji’un. Selanjutnya, kita akan menemukan makna “selamat” yang hakiki melalui kisah-kisah yang telah dirangkai secara apik oleh penulis, yaitu baik mati maupun hidup, kita tetap berada di jalan Allah Swt.

Dimuat di Wasathon.com, 9 Juli 2014.