Akhir-akhir ini, masyarakat
khususnya para pemerhati politik
tengah dihebohkan dengan perkataan sang raja dangdut, Rhoma Irama.
Pasalnya, saat menjadi narasumber pada acara talk show di Studio Orange Kompas TV, Palmerah,
Jakarta, Selasa (7/1/2014), Rhoma mengatakan bahwa dirinya tidaklah
bersebrangan dengan Gus Dur.
Katanya, dia sama seperti Gus Dur, sama-sama
mendukung pluralisme.
Kalimat ini dilontarkan Rhoma semata-mata sebagai jawaban atas pernyataan putri Gus Dur, Yenny Wahid,
yang sebelumnya pernah mengatakan bahwa sosok Rhoma itu berseberangan dengan Gus Dur (Kompas.com,
8/1/2014).
Kedua pandangan tersebut jelas
memunculkan kontroversi di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari
keterkaitannya dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang.
Terlebih lagi, raja dangdut, Rhoma Irama
ini menjadi salah satu kandidat bakal calon presiden yang dilirik Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), menjadikan perkataannya tersebut semakin menyulut
bara kecurigaan dari masyarakat, khususnya para pemerhati politik. Apakah
benar, Rhoma Irama
itu sama dengan Gus Dur
dalam mendukung pluralisme? Atau, hanya pencitraan belaka?
Terlepas dari perihal tersebut,
alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
pluralisme itu sendiri. Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang
mengakui dan menerima adanya “kemajemukan” atau “keanekaragaman” dalam suatu
kelompok masyarakat.
Menerima kemajemukan berarti
menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan,
tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama. Dan,
kemajemukan atau keanekaragaman dalam konteks negara Indonesia misalnya dilihat dari segi agaman,
suku, ras, adat-istiadat, bahasa dan lain-lain.
Dalam tulisan kali ini, penulis
tidak akan membicarakan tentang diterima atau tidaknya pluralisme di masyarakat
kita. Karena pembahasan mengenai perihal tersebut sudah banyak dibahas
sebelumnya. Mulai dari buku, artikel atau opini telah banyak membahas
keberadaan pluralisme di masyarakat Indonesia ini.
Untuk itu, pada kesempatan kali
ini penulis tak lagi membahas perihal tersebut, melainkan akan membahas tentang
perbedaan antara
pluralisme Rhoma Irama
dan sang guru bangsa, Gus Dur.
Secara esensial, Gus Dur di dalam mempraktikkan
paham pluralisme itu secara total.
Maksudnya, dia benar-benar ikhlas melakukannya. Tanpa ada sesuatu pun yang
diharapkan dari hal tersebut, kecuali hanya ridho dari-Nya.
Menurut kacamata Gus Dur, pluralisme
merupakan sebuah sarana untuk memanusiakan manusia. Maksudnya, dengan sifat
pluralisnyalah Gus Dur
itu dapat menyayangi semua manusia dari beranekaragam agama, ras, suku, bangsa dan
beberapa perbedaan lainnya tanpa ada sekat kebencian sedikit pun. Hal ini
merupakan sebuah pengaktualisasian sifat rahman dan rokhim-Nya pada diri Gus Dur.
Gus Dur selalu ingin
memandang manusia, siapa pun dia dan di mana pun dia berada, sebagai manusia
yang adalah ciptaan Tuhan. Sebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin
menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin
mengasihinya. “Takhallqu bi Akhlaq Allah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah),
kata pepatah sufi.
Dengan alasan itulah yang
menjadi kunci pokok dari pluralisme Gus Dur. Karena segala sesuatu
yang dilakukan oleh beliau, baik itu salat, zikir, zakat, tahlilan, ziarah
kubur, dan beberapa amalan ibadah lainnya semata-mata hanya sebagai wasilah
untuk penyingkapan dan persaksian dengan-Nya (Nur Khalik Ridwan, dalam Suluk Gus Dur: Bilik-bilik
Spiritual Sang Guru Bangsa: 2013).
Sedangkan pluralisme ala Rhoma,
semata-mata hanya sebagai sarana pencitraan belaka. Sebagai sarana untuk
mendulang suara pada pilpres 2014 mendatang. Mengingat dirinya menjadi salah
satu kandidat bakal calon presiden yang dilirik PKB, hal ini menjadi jalan
pintas bagi Rhoma untuk menarik simpati para pengagum Gus Dur di seluruh atau
saentero Indonesia untuk mendukung dirinya.
Hal ini juga dilakukan oleh para
calon legislatif (caleg) dari partai yang sama, yaitu dengan serentak
mengampanyekan dirinya dengan slogan “meneruskan perjuangan Sang Guru Bangsa”.
Padahal, pada tahun 2012 lalu, pada musim pemilihan Gubernur DKI Jakarta, dia
sempat berurusan dengan Panwaslu Jakarta karena ceramahnya yang bernada SARA
karena dinilai menghina pasangan calon Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Kala
itu, Basuki Tjahaja menjadi pemancing munculnya hinaan tersebut karena ia dari
golongan nonmuslim.
Selanjutnya, Gus Dur tak pernah
mengatakan bahwa dirinya itu pluralisme. Masyarakatlah yang menyematkan gelar
Bapak Pluralissme pada dirinya. Beliau juga tak banyak bicara soal wacana
pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi ia mengamalkan,
mempraktikkan dan memberi mereka contoh atasnya.
Pluralisme jauh lebih banyak
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding
diwacanakan. Hal ini berbanding terbalik dengan Rhoma, ia dengan getolnya
menyebut dirinya mendukung pluralisme. Tetapi dalam praktik kesehariannya ia
tak menampakkan sifat pluralis nempel pada dirinya.
Kiranya, perlu diingat bahwa Gus Dur itu bersifat
pluralis setiap hari, di mana dan kapan pun ia berada, tidak hanya menjelang
pemilu saja.
Akhirnya, meminjam bahasanya
guru tarekat sathariyah, Kyai Hasan Ulama’, Ojo demen nyunggi katoke mbahe,
amal sholeh tindakno. Maksudnya, kita sebagai penerus bangsa jangan terlalu
membanggakan dan mengandalkan kebesaran tokoh kita terdahulu. Tapi yang
terpenting adalah sepak terjang kita dalam realita kehidupan berbangsa saat
ini, meneladani apa yang telah dilakukan oleh para petinggi-petinggi bangsa
kita terdahulu. Bukankah perbuatan itu lebih menghasilkan hal yang nyata
ketimbang ucapan?
Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Aktivis di Gerakan UIN
Sunan Ampel Surabaya Menulis (GISAM). Tulisan ini pernah dimuat di Banjarmasin
Post: 16 Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar