Selasa, 18 Maret 2014

Pluralisme: Antara Rhoma dan Gus Dur


Akhir-akhir ini, masyarakat khususnya para pemerhati politik tengah dihebohkan dengan perkataan sang raja dangdut, Rhoma Irama. Pasalnya, saat menjadi narasumber pada acara talk show di Studio Orange Kompas TV, Palmerah, Jakarta, Selasa (7/1/2014), Rhoma mengatakan bahwa dirinya tidaklah bersebrangan dengan Gus Dur.

Katanya, dia sama seperti Gus Dur, sama-sama mendukung pluralisme. Kalimat ini dilontarkan Rhoma semata-mata sebagai jawaban atas pernyataan putri Gus Dur, Yenny Wahid, yang sebelumnya pernah mengatakan bahwa sosok Rhoma itu berseberangan dengan Gus Dur (Kompas.com, 8/1/2014).
Kedua pandangan tersebut jelas memunculkan kontroversi di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari keterkaitannya dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang.

Terlebih lagi, raja dangdut, Rhoma Irama ini menjadi salah satu kandidat bakal calon presiden yang dilirik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menjadikan perkataannya tersebut semakin menyulut bara kecurigaan dari masyarakat, khususnya para pemerhati politik. Apakah benar, Rhoma Irama itu sama dengan Gus Dur dalam mendukung pluralisme? Atau, hanya pencitraan belaka?

Terlepas dari perihal tersebut, alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pluralisme itu sendiri. Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “kemajemukan” atau “keanekaragaman” dalam suatu kelompok masyarakat.

Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama. Dan, kemajemukan atau keanekaragaman dalam konteks negara Indonesia misalnya dilihat dari segi agaman, suku, ras, adat-istiadat, bahasa dan lain-lain.

Dalam tulisan kali ini, penulis tidak akan membicarakan tentang diterima atau tidaknya pluralisme di masyarakat kita. Karena pembahasan mengenai perihal tersebut sudah banyak dibahas sebelumnya. Mulai dari buku, artikel atau opini telah banyak membahas keberadaan pluralisme di masyarakat Indonesia ini.
Untuk itu, pada kesempatan kali ini penulis tak lagi membahas perihal tersebut, melainkan akan membahas tentang perbedaan antara pluralisme Rhoma Irama dan sang guru bangsa, Gus Dur.

Secara esensial, Gus Dur di dalam mempraktikkan paham pluralisme itu secara total. Maksudnya, dia benar-benar ikhlas melakukannya. Tanpa ada sesuatu pun yang diharapkan dari hal tersebut, kecuali hanya ridho dari-Nya.

Menurut kacamata Gus Dur, pluralisme merupakan sebuah sarana untuk memanusiakan manusia. Maksudnya, dengan sifat pluralisnyalah Gus Dur itu dapat menyayangi semua manusia dari beranekaragam agama, ras, suku, bangsa dan beberapa perbedaan lainnya tanpa ada sekat kebencian sedikit pun. Hal ini merupakan sebuah pengaktualisasian sifat rahman dan rokhim-Nya pada diri Gus Dur

Gus Dur selalu ingin memandang manusia, siapa pun dia dan di mana pun dia berada, sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan. Sebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin mengasihinya. “Takhallqu bi Akhlaq Allah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah), kata pepatah sufi. 

Dengan alasan itulah yang menjadi kunci pokok dari pluralisme Gus Dur. Karena segala sesuatu yang dilakukan oleh beliau, baik itu salat, zikir, zakat, tahlilan, ziarah kubur, dan beberapa amalan ibadah lainnya semata-mata hanya sebagai wasilah untuk penyingkapan dan persaksian dengan-Nya (Nur Khalik Ridwan, dalam Suluk Gus Dur: Bilik-bilik Spiritual Sang Guru Bangsa: 2013).

Sedangkan pluralisme ala Rhoma, semata-mata hanya sebagai sarana pencitraan belaka. Sebagai sarana untuk mendulang suara pada pilpres 2014 mendatang. Mengingat dirinya menjadi salah satu kandidat bakal calon presiden yang dilirik PKB, hal ini menjadi jalan pintas bagi Rhoma untuk menarik simpati para pengagum Gus Dur di seluruh atau saentero Indonesia untuk mendukung dirinya.

Hal ini juga dilakukan oleh para calon legislatif (caleg) dari partai yang sama, yaitu dengan serentak mengampanyekan dirinya dengan slogan “meneruskan perjuangan Sang Guru Bangsa”. Padahal, pada tahun 2012 lalu, pada musim pemilihan Gubernur DKI Jakarta, dia sempat berurusan dengan Panwaslu Jakarta karena ceramahnya yang bernada SARA karena dinilai menghina pasangan calon Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Kala itu, Basuki Tjahaja menjadi pemancing munculnya hinaan tersebut karena ia dari golongan nonmuslim.

Selanjutnya, Gus Dur tak pernah mengatakan bahwa dirinya itu pluralisme. Masyarakatlah yang menyematkan gelar Bapak Pluralissme pada dirinya. Beliau juga tak banyak bicara soal wacana pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi ia mengamalkan, mempraktikkan dan memberi mereka contoh atasnya.
Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding diwacanakan. Hal ini berbanding terbalik dengan Rhoma, ia dengan getolnya menyebut dirinya mendukung pluralisme. Tetapi dalam praktik kesehariannya ia tak menampakkan sifat pluralis nempel pada dirinya.

Kiranya, perlu diingat bahwa Gus Dur itu bersifat pluralis setiap hari, di mana dan kapan pun ia berada, tidak hanya menjelang pemilu saja.

Akhirnya, meminjam bahasanya guru tarekat sathariyah, Kyai Hasan Ulama’, Ojo demen nyunggi katoke mbahe, amal sholeh tindakno. Maksudnya, kita sebagai penerus bangsa jangan terlalu membanggakan dan mengandalkan kebesaran tokoh kita terdahulu. Tapi yang terpenting adalah sepak terjang kita dalam realita kehidupan berbangsa saat ini, meneladani apa yang telah dilakukan oleh para petinggi-petinggi bangsa kita terdahulu. Bukankah perbuatan itu lebih menghasilkan hal yang nyata ketimbang ucapan?

Oleh: Wahyu Eko Sasmito, Aktivis di Gerakan UIN Sunan Ampel Surabaya Menulis (GISAM). Tulisan ini pernah dimuat di Banjarmasin Post: 16 Januari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar