Sabtu, 09 Mei 2015

Begini Cara Mempercantik Diri Secara Syari

Judul Buku: Perempuan Dambaan Al-Qur’an
Penulis: Gayatri Ida Susanti
Penerbit: Mizania
Cetakan: I, 2014
Tebal Buku: 163 halaman
ISBN: 978-602-1337-06-6

Tampil cantik pada setiap waktu adalah dambaan setiap perempuan. Karena, menampilkan semua kecantikan yang dimilikinya merupakan fitrah atau pembawaannya. Dapat dikatakan bahwa kecantikan termasuk senjata terhandal yang dimiliki oleh perempuan. Dengan bermodal kecantikan, perempuan bisa mendapatkan segala sesuatu yang mereka inginkan.

Untuk itu, tak heran jika ingin berpenampilan cantik, perempuan berjuang dengan pergi ke salon kecantikan, ke butik untuk mencari pakaian, ke toko aksesoris untuk mencari hiasan tubuh (seperti bros, ikat rambut, gelang, kalung, cincin, dan lain sebagainya). Sebagian ada yang memermak penampilannya dengan cara yang menyalahi aturan agama, misalnya melakukan operasi plastik untuk memancungkang hidung, mengubah bentuk bibir, atau mengoperasi wajah keseluruhan dan bagian-bagian tubuh yang lain agar terlihat lebih kelihatan proporsional. Bahkan, ada yang nekad pergi ke klenik untuk dipasangi susuk agar terlihat aura kecantikannya.

Menjaga kecantikan fisik (tubuh) memang perlu kita perhatikan. Karena hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita semua. Namun, jika cara yang digunakan itu melanggar aturan agama sungguh sangatlah tidak baik dan wajib kita hindari. Hal itu dapat merugikan diri kita sendiri baik di dunia maupun di akhirat kelak. Secara sederhana, bersyukur sama halnya dengan ucapan terima kasih kepada orang yang telah membarikan sesuatu kepada kita. Dan, cara terbaik untuk mengungkapkan rasa terima kasih adalah kita membalasnya dengan sesuatu yang baik pula, sesuatu yang dapat menyenangkan atau membahagiakan sang pemberi. Bukan malah sebaliknya, melakukan sesuatu yang dapat memantik kemarahan atau kebenciannya.

Melalui buku Perempuan Dambaan Al-Qur’an ini, Gayatri Ida Susanti menerangkan secara gamblang tentang trik-trik mempercantik diri secara syar’i (melalui beberapa amalan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, shodaqoh, dzikir, dll). Dengan bahasa yang ringan, Gayatri mampu menerangkan kepada para pembaca perihal bagaimana hubungan antara beberapa macam amalan ibadah tersebut dapat mempengaruhi kecantikan seseorang secara ilmiah.

Ibadah shalat misalnya, seseorang yang melaksanakan shalat karena Allah dengan khusuk kebutuhan ruhiahnya akan terpenuhi. Dan, terpenuhinya kebutuhan ruhiah (kenyamanan psikologis) ini akan menimbulkan efek ketenangan jiwa dan kedamaian. Kedamaian dan ketenangan jiwa itu akan memancar pada wajah. Bisa dibuktikan bahwa orang yang shalatnya baik, wajahnya enak dilihat: teduh dan sejuk (halaman 42-43).

Puasa juga penting untuk keindahan dan kecantikan diri. Prof. H. M. Hembing Wijayakusuma menerangkan bahwa puasa dapat menjadikan kulit orang yang melakukannya lebih segar dan lembut. Bagaimana bisa? Bisa, karena ketika seseorang sedang berpuasa, berarti tubuh kekurangan kalori atau energi. Ketika tubuh kekurangan kalori, tubuh akan membongkar makanan dari sel-sel tubuh. Bersamaan dengan pembongkaran sari makanan di tingkat sel, racun-racun di sel juga akan terurai. Racun-racun ini akan diangkut dan dikeluarkan melalui organ-organ ekskresi (organ yang tugasnya mengeluarkan racun atau kotoran dari tubuh), sehingga ketika sel terbebas dari racun, secara otomatis kulit akan menjadi lebih mulus dan cantik (halaman 104-106).

Mempercantik diri secara syar’i inilah yang akan menuntun kita kepada makna kecantikan diri yang hakiki. Kecantikan diri yang hakiki itu tak selalu bertumpu pada hal-hal yang bersifat fisik saja, melainkan juga merujuk pada kebaikan akhlak dan juga ketebalan iman seseorang. Bayangkan saja, ada seorang yang berparas cantik misalnya, tetapi ia memiliki perilaku yang jelek, suka cemberut, suka marah-marah dan sedikit senyum, ia akan dikucilkan oleh banyak orang. Dekat dengannya laksana duduk di atas duri yang ingin segera pergi. Karena, keberadaannya membuat kita merasa tidak nyaman atau penuh dengan kegelisahan. Beda halnya dengan orang yang berparas cantik, berakhlak baik, murah senyum, penyabar, sopan, dan jujur, dekat dengannya bagaikan berteduh di bawah pohon yang rindang dengan tiupan angin sepoi-sepoi sejuk nan menentramkan.

Selain beberapa trik mempercantik diri seperti telah dijelaskan di atas, penulis juga memberikan penjelasan tentang beberapa amalan fisik khusus untuk kecantikan yang tidak bertentangan dengan agama. Di samping itu, pada bab terakhir dalam buku ini, penulis memberikan peringatan kepada kita semua mengenai perihal cara mempercantik diri yang diharamkan oleh agama. Dengan demikian, buku ini sangat cocok untuk dibaca khususnya bagi kaum hawa agar di dalam mempercantik dirinya itu tidak melanggar syari’at agama. Merawat dan menjaga kencantikan diri itu memang penting, tapi merawat dan menjaga kecantikan diri secara syar’i itu jauh lebih penting.

Tulisan ini juga pernah dipublikasikan di Wasathon.com pada 31 Maret 2015.

Agar Doa Selalu Dikabulkan

Judul Buku: 365 Do’a & Zikir
Penulis: Deden Syarif Hidayat
Penerbit: Mizania
Cetakan: I, 2014
Tebal Buku: 311 hlm
ISBN: 978-602-1337-03-5

Manusia hidup di dunia menghadapi berbagai macam bentuk permasalahan atau cobaan merupakan sebuah keniscayaan. Mengingat, di dalamnya terdapat perbedaan kepentingan, kebutuhan, pemikiran dan beberapa perbedaan lainnya antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu, di dalam menjalani kehidupan ini setiap manusia pasti akan menghadapi yang namanya permasalahan atau cobaan, baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Dalam menghadapi beragam permasalahan tersebut, banyak diantara kita yang merasa kuwalahan, bahkan ada yang sampai dibuat putus asa. Hal ini wajar terjadi lantaran manusia itu diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang lemah. Begitulah Dia mengabarkannya dalam Al-Qur’an. Walaupun begitu, jika kita mau merenungkan, Dia telah menyiapkan konskuensinya atas penciptaan-Nya tersebut. Dia telah berjanji kepada manusia bahwa akan mengabulkan seluruh permintaan, permohonan (doa) yang dipanjatkan kepada-Nya. Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS Al-Mu’min [40]: 60). Jadi, seandainya manusia itu senantiasa terus-menerus berusaha dengan sekuat tenaga disertai dengan doa kepada Allah ketika tengah menghadapi musibah, niscaya mereka akan diberi kemudahan oleh-Nya.

Meskipun demiakian, terkadang doa-doa yang kita panjatkan kepada Allah tak langsung diijabah (dikabulkan). Dari sini sering muncul prasangka buruk kita kepada-Nya. Sebetulnya, perasaan seperti itu terlalu terburu-buru untuk dikeluarkan ketika doa yang kita panjatkan kepada Allah tersebut tak kunjung dikabulkan. Sebelum berprasangka seperti itu, alangkah bijaknya jika kita mau mengoreksi diri kita terlebih dahulu. Boleh jadi, sebab tidak dikabulkannya doa-doa tersebut datangnya dari diri kita sendiri. Kita yang berkedudukan sebagai hamba, mungkin masih banyak melakukan maksiat, masih suka berbohong, syirik atau beberapa perbuatan dosa lainnya yang apabila mengerjakannya sudah jelas-jelas dilarang oleh Allah. Allah itu Maha Indah dan hanya menyukai keindahan. Oleh sebab itu, jika ingin doa kita segera dikabulkan hendaknya kita juga melaksanakan semua prosedur atau kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan-Nya kepada kita semua.

Buku 365 Doa & Zikir karangan Deden Syarif Hidayat ini patut untuk dibaca sebagai pedoman agar doa dan zikir kita itu diijabah. Di dalamnya telah dipaparkan tentang beberapa syarat dan adab yang harus dilakukan oleh orang yang berdoa agar doa yang dipanjatkan itu dikabulkan.

Menurut Deden, beberapa syarat yang wajib kita lakukan agar doa yang kita panjatkan tersebut dikabulkan antara lain sebagai berikut: Pertama, husnuzhzhann (berbaik sangka) dan berdoa dengan penuh keyakinan dan kekhusyukan. Semua ini penting dilakukan mengingat di dalam berdoa semuanya bergantung pada sangkaan dan keyakinan dalam hati kita. Allah berfirman dalam Hadis Qudsi, “Aku bergantung pada prasangka hamba-Ku. Dan Aku akan selalu menyertai jika ia berdoa kepada-Ku” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Kedua, berdoa dengan penuh kerendahan diri, kelembutan, tidak melampau batas, disertai dengan perasaan takut dan penuh rasa harap. Hal ini perlu dilakukan ketika berdoa lantaran untuk menghindarkan diri kita dari sifat sombong. Sombong merupakan salah satu sifat yang dapat menghalangi terkabulnya sebuah doa. Ketiga, berdoa tidak dilakukan ketika mendapatkan kesusahan saja. Keempat, berdoa tidak disertai dengan menyekutukan Allah. Dalam berdoa, hendaknya kita langsung menujukannya kepada Allah Sang Maha Pengabul dan Penerima doa. Karena Allah tidak akan pernah mengabulkan doa dari orang yang menyekutukan-Nya atau meminta kepada selain-Nya.

Syarat yang kelima adalah tidak meminta disegerakan atau memaksakan kehendak untuk diijabah, tidak berdoa untuk perbuatan dosa, dan tidak memutuskan silaturahmi. Keenam, menjauhi makanan haram. Agar doa dikabulkan, kita harus menjaga perut kita dari makanan dan minuman haram, baik dari cara mendapatkannya maupun makanannya itu sendiri yang mengandung zat haram. Kemudian, syarat yang terakhir yaitu doa yang kita panjatkan harus mampu memberikan pengaruh dan manfaat bagi kehidupan. Inilah puncak eksistensi doa: orang yang berdoa memberikan energi positif bagi lingkungan keluarga, masyarakat, dan negaranya. Allah mengecam orang yang berdoa tapi tidak memberikan efek positif, baik bagi kehidupan dirinya maupun lingkungan di sekitarnya (halaman 43-49).

Setelah beberapa syarat tersebut terpenuhi, agar doa kita dikabulkan, di dalam berdoa hendaknya kita juga menerapkan beberapa adab (etika atau tatakrama) berikut ini: Pertama, mengawali doa dengan sanjungan Asma’ Al-Husna. Kedua, mengucapkan kalimah thayyibah setelah membaca Asma’ Al-Husna. Ketiga, membaca shalawat kepada Nabi SAW. Keempat, barengi doa dengan ikhtiar (sabar dan tawakal) dan amal saleh. Doa tanpa ikhtiar bagaikan kata-kata tanpa makna. Berdoa semestinya dibarengi dengan ikhtiar yang optimal karena keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Kelima, barengi doa dengan permohonan agar doa dikabulkan. Dan, yang terakhir yaitu memanfaatkan waktu-waktu terbaik pengabulan doa (sa’ah al-ijabah), seperti pada waktu sujud dalam shalat, tengah malam dan setelah shalat fardhu, sepertiga akhir malam, saat gerhana, hari jum’at, dlsb (halaman 49-59).

Tak hanya menerangkan perihal di atas, buku ini juga memuat 365 doa dan zikir yang diambil dari Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis terpercaya, yang mencakup segala hajat dan kebutuhan hidup seorang Muslim. Untuk itu, buku ini sangat sayang jika dilewatkan, mengingat dalam menjalani kehidupan yang semakin ketat, penuh persaingan, dan kian berat ini, kita sangat membutuhkan doa-doa tersebut sebagai media untuk mencurahkan segala macam persoalan hidup ini kepada Allah. Karena, hanya dengan bergantung kepada-Nyalah kita akan mendapatkan ketenangan hidup dan terhindar dari rasa kebingungan, stres, atau bahkan keputusasaan ketika menghadapi beragam kesulitan hidup tersebut.

Tulisan ini juga pernah dipublikasikan di Wasathon.com pada 21 April 2015.

Rabu, 03 Desember 2014

Upaya Mewujudkan Perdamaian antara Muhammadiyah dan NU

Judul buku: Muhammadiyah itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan
Penulis: Muchammad Ali Shodiqin
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, Februari 2014
Tebal buku: xxii + 309 halaman
ISBN: 978-602-1306-03-1 

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ (NU) merupakan dua ormas Islam yang tertua sekaligus memiliki pengikut terbesar di negeri ini. Oleh karena itu, segala permasalahan yang muncul dari kedua ormas Islam ini akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap keberlangsungan aktifitas berbangsa dan bernegara. Keduanya bagaikan sang saka merah-putih. Dulu, pada masa penjajahan, persatuan diantara keduanya dapat mengantarkan Indonesia kepada gerbang kemerdekaan.

Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan di antara keduanya semakin merenggang hingga berujung pada yang namanya perpecahan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh politik. Politiklah yang membuat mereka itu berseberangan. Politiklah yang menciptakan adu domba di antara keduanya. Padahal, jika ditelisik dari sisi sejarahnya, Muhammadiyah dan NU itu akarnya sama. Sama sejarahnya, tunggal guru, tunggal ilmu, bahkan satu keluarga. Kiai Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Hasyim NU adalah sama-sama keturunan Sunan Giri. Sunan Giri adalah anak Maulana Ishaq yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah binti Rasulullah (halaman 13-14).

Perpecahan itu diperburuk lagi dengan adanya perbedaan fiqih. Perbedaan ini terkadang dapat memicu timbulnya ganjalan-ganjalan dalam hubungan bermasyarakat. Akibatnya, umat Islam menyimpan rasa tidak suka antar sesamanya. Umat Islam saling mengeklaim bahwa pahamnyalah yang paling benar dan paham orang lain itu salah. Dari sinilah potensi konflik akan tumbuh. Jabatan-jabatan publik juga terpengaruh, sehingga pemerintahan tidak bisa menegakkan keadilan dengan sepenuhnya. Pada akhirnya, negara pula yang jadi korbannya. 

Berdasar pada fenomena itulah, Muchammad Ali Shodiqin menyusun buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini ingin memublikasikan kembali dokumen fiqih yang terlupakan (Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 jilid tiga yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924) kepada khalayak umum khususnya warga Muhammadiyah dan NU.

Isi dari kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 jilid tiga itu sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU (halaman 12). Jadi, dapat disimpulkan bahwa Kiai Dahlan dan warga Muhammadiyah dalam melaksanakan ibadah keagamaan ketika itu sama dengan model pelaksanaannya warga NU. Dengan kata lain, di masa awal berdirinya, fiqih Muhammadiyah itu  menggunakan mazhab syafi’i yang sama dengan NU.

Pada masa berikutnya, sejarah fiqih (tarikh tasyri’) Muhammadiyah mengalami perkembangan (perubahan). Masa-masa atau periode perkembangan fiqih Muhammadiyah itu bisa disimpulkan sebagai berikut: Masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa HPT (1967-1995), dan Masa Pembauran HPT-Globalisasi (1995-kini).

Beberapa fase perkembangan fiqih Muhammadiyah ini memiliki tandanya masing-masing. Pada masa Syafi’i, Muhammadiyah yang didirikan oleh Kiai Dahlan merupakan organisasi keagamaan Islam yang bermazhab Syafi’i. Selanjutnya, pada masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi ditandai dengan perubahan sikap Muhammadiyah dari lunak ala Kiai Dahlan ke keras ala Sutan Mansur. Masa ini juga ditandai dengan kemenangan Ibnu Saud yang berpaham Wahhabi dalam menaklukkan kota Makkah-Madinah dan hendak mendirikan kekhalifahan berpaham Wahhabi (1925), di mana Muhammadiyah menyambut baik kemenangan itu (halaman 31-60). Hal inilah yang melatar belakangi terjadinya perpecahan antara Muhammadiyah dengan NU. Saat Muhammadiyah terpikat dengan kemenangang Ibnu Saud, suara ulama-ulama pesantren yang kurang sependapat dengan sikap Muhammadiyah tak terwakili. Di titik itulah NU lahir tahun 1926 untuk memprotes secara langsung si Raja Arab itu, sebab paham Wahhabi akan menggusur semua amalan khas pesantren. Protes itu pun manjur hingga Ibnu Saud membatalkan niatnya di tahun 1927.

Masa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) ditandai dengan penghapusan ciri khas mazhab Syafi’i sekaligus ciri khas paham Wahhabi. Ciri khas paham Wahhabi yang dihapus adalah pengharaman gambar Kiai Dahlan yang dicabut di tahun 1968, sehingga menjadi halal dipasang lagi. Sedangkan, ciri khas mazhab Syafi’i yang dihapus dari HPT adalah qunut, yang penghapusannya dilakukan lewat Mu’tamar Tarjih di Pekalongan tahun 1972. Kemudian, pergantian masa HPT ke masa HPT-Globalisasi ditandai dengan berkembangnya paham-paham global dari luar Islam ke dalam Muhammadiyah, di antaranya yaitu isu gender, demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bahkan isu-isu kedokteran mutakhir (halaman 83-84).

Terlepas dari semua itu, perlu ditekankan bahwa, buku ini bukanlah sebuah pukulan untuk warga Muhammadiyah dan juga bukan simbol kemenangan dari warga NU. Penulisnya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari anggapan seperti itu. Selain mengolah bahasa yang indah-mendamaikan, ia juga berusaha agar buku ini menjadi suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, yaitu suara dari orang yang mencintai Muhammadiah. Hal ini dapat kita ketahui dari buku-buku yang sengaja ia jadikan referensi dalam penyusunan buku ini. Selain kitab Fiqih Muhammadiyah 1924, lebih dari sembilan puluh persen buku yang dijadikan referensi oleh penulis adalah buku terbitan penerbit yang sepaham dengan Muhammadiyah.

Akhirnya, buku ini lebih merupakan sebuah upaya jabat tangan (perdamaian) sejarah dan rangkulan persaudaraan sekaligus menjadi pintu perdamaian antara Muhammadiyah dengan NU. Pintu yang dapat membuka kata “harapan” dari warga Muhammadiyah dan membuka kata “maaf” dari warga NU. Karena, hanya dengan keduanya, yakni harapan dan maaf itulah sebuah perdamaian akan terwujud. Selamat membaca!

Dimuat di Harian Kabar Probolinggo, 3 Desember 2014


Jumat, 24 Oktober 2014

Kiat Mengubah Diri

Judul buku: Metamorfosa: Change Your Life, Touch Your Dream
Penulis: Rahman Patiwi
Penerbit: Mizania
Cetakan: I, Mei 2014
Tebal Buku: 166 halaman
ISBN: 978-602-4255-87-4

Setiap orang yang terlahir ke dunia ini pasti diberikan ciri khas masing-masing oleh Tuhan. Sekali pun di antara mereka ada yang terlahir kembar, pasti selalu ada perbedaannya, baik dari segi fisik maupun sifatnya. Begitu juga dengan kemampuan yang dimiliki seseorang, selalu ada perberbedaan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan itu Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Dia-lah sang pencipta segala apa yang ada di jagat raya ini.

Segala sesuatu yang Tuhan inginkan pasti akan terjadi, termasuk nasib kehidupan seseorang. Namun, terkadang kita mengklaim bahwa hanya orang kayalah yang dapat hidup bahagia, sedangkan orang miskin itu selalu hidup sengsara. Anggapan seperti itu belum tentu selaras dengan “skenario” Tuhan. Bisa jadi yang ada justru malah sebaliknya. Untuk itu, berprasangka baik kepada-Nya adalah hal yang harus selalu kita lakukan, baik dalam keadaan senang maupun susah. Kita juga perlu berprasangka baik kapan pun dan di mana pun berada.

Termasuk perbuatan yang keliru ketika kita dalam keadaan miskin harta ialah beranggapan bahwa kita ini bukan siapa-siapa (no one), sehingga mengakibatkan kita cenderung bersantai-santai dalam berusaha mengarungi dinamika kehidupan. Kita kemudian menyalahkan takdir ketika tertimpa kegagalan atau mengungkapkan beberapa keluhan lainnya untuk sekadar menutupi kesalahan diri sendiri. Padahal, untuk menjadi seseorang yang diperhitungkan (someone), kita dituntut selalu optimis, berusaha keras, dan tak kenal keluh kesah dalam mewujudkan semua impian.

Bersikap optimis, berpikiran positif, bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas adalah kunci utama untuk mendapatkan apa saja yang kita inginkan (hal. 40-41). Dengan pikiran yang positif, segala sesuatu yang terjadi pada diri kita meskipun terasa pahit dan menyakitkan tidak serta merta menjadi objek keluh kesah. Sebaliknya, ia malah menjadi pelajaran yang sangat berharga sekaligus pemantik semangat yang baru dan powerful. Dengan pikiran positif pula, kerja keras, kerja cerdas, serta kerja ikhlas itu akan terasa lebih ringan untuk dilaksanakan.

Selain itu, konsep nilai yang harus kita tanamkan dalam diri untuk meraih impian adalah senantiasa meningkatkan kemampuan (valensi) dan prestasi diri (hal. 70). Jangan jadikan to have atau materi sebagai titik fokus dalam perjalanan meraih keinginan.Sejatinya, to have  itu akan mengalir sendiri melalui mekanisme alam. Ia mengalir sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang ada pada diri masing-masing. Bukankah orang yang berprestai dan memiliki kemampuan diri yang lebih akan lebih mudah mendapatkan materi ketimbang yang tidak?

Valensi diri adalah keseluruhan tindak tanduk, metode berpikir, cara bersikap yang melahirkan keputusan, dan tindakan yang menjadi acuan untuk menentukan takaran dan kualitas diri kita (hal. 85). Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan kualitas diri adalah dengan meningkatkan valensi diri. Semakin tinggi tingkat valensi diri seseorang, semakin terbuka kemungkinan terjadi perubahan dalam hidupnya. Orang yang tingkat valensinya tinggi senantiasa suka akan tantangan yang baru.

Buku Metamorfosa: Change Your Life, Touch Your Dream merupakan buku yang mencatat perjalanan panjang seorang sopir angkot bernama Rahman Patiwi. Ia punya keinginan untuk menjadi seorang trainer kondang. Akhirnya, dia berhasil membuktikan bahwa kesuksesan dalam mengarungi kehidupan ini tidaklah diukur dari segi kaya atau miskinnya seseorang, melainkan ditentukan oleh kehendak Tuhan yang memberikan hadiah kesuksesan kepada kita yang mau bekerja keras dan tak pernah menyerah dalam mewujudkan semua impian.

Ibarat dalam ilmu perdagangan, antara harga dan kualitas itu saling berkorelasi. Harga ditentukan penjual, kualitas berada di tangan pembeli. Begitu juga dalam meraih sebuah impian. Hasil adalah sesuatu yang berada dalam kuasa Tuhan, sedangnkan cara (usaha) berada dalam genggaman kita sebagai pelaku usaha tersebut.

Selain merangkum perjalanan hidup dari sang penulis, buku ini juga berisi tentang kiat-kiat praktis untuk menggapai hidup yang lebih baik; dari biasa-biasa saja menjadi luar biasa; dari tak berharga menjadi istimewa. Bahasa yang digunakan pun cukup ringan, sehingga mudah untuk difahami oleh berbagai kalangan. Oleh karena itu, buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh orang-orang yang ingin bermetamorfosis from no one to someone. Selamat membaca.

Dimuat di eramadina.com, 24 Oktober 2014

Selasa, 16 September 2014

Ketika Sastra Menelusuri Hakikat Makna Puasa

Judul Buku: Tafsif Sastrawi, Menelusuri Makna Puasa Dalam Al-Quran
Penulis: Wali Ramadhani
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Mei 2014
Tebal Buku: 176 halaman
ISBN: 978-602-1337-13-4

Pada dasarnya, puasa merupakan suatu ibadah yang cukup berat untuk kita kerjakan. Betapa tidak, keperluan-keperluan naluriah/biologis yang manusiawi (makan, minum, melakukan hubungan suami-istri, dan lain-lain) dilarang dilakukan sedari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. 

Menyadari akan beratnya ibadah puasa tersebut, Al-Quran telah menyiapkan suatu “strategi komunikasi” yang hebat sehingga para pembaca/pendengarnya terdorong untuk melaksanakannya dengan hati yang ringan dan ikhlas. Buktinya, ketika bulan Ramadhan tiba, banyak di antara kaum muslim (yang beriman) yang selain menjalankan ibadah puasa, mereka juga sangat antusias untuk mengerjakan amal kebaikan yang lain, seperti salat tarawih, tadarusan, saling bersedekah antara satu dengan yang lainnya, dll.

Melalui buku ini, Wali Ramadhani mencoba untuk menelaah “strategi komunikasi” Al-Qur’an tersebut melalui tafsir sastrawi atas ayat-ayatnya yang berbicara tentang puasa. Di dalam melakukan kajiannya terhadap ayat-ayat puasa tersebut, ia menggunakan teori penedekatan sastra yang digagas oleh Amin al-Khuli (1895-1996).

Tafsir sastrawi Amin al-Khuli ini merupakan tindak lanjut dari keberanian Muhammad ‘Abduh yang mengkritisi produk-produk tafsir terdahulu, terlebih lagi produk-produk tafsir yang erat kaitannya dengan kepentingan-kepentingan tertentu, seperti ideologi, politik, dan lainnya. Dengan kata lain, tafsir ini bertujuan untuk memandang Al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar yang memiliki pengaruh sastrawi terdalam. Sehingga, selain sebagai kitab agama yang suci yang diturunkan oleh Allah Swt. melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw., Al-Qur’an juga dapat dikatakan sebagai teks yang menjalankan pengaruhnya dan efektivitasnya terhadap umat Islam dan juga non-Muslim melalui karakteristik kebahasaan dan artistik yang khas, yang membedakan dari teks-teks lainnya (hlm 26-28).  

Dalam proses menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Amin al-Khuli menyarankan kepada para penafsir agar melakukan tiga kajian utama untuk mendapatkan makna atau maksud dari ayat-ayat tersebut secara tepat dan utuh. Tiga kajian utama tersebut diantaranya adalah kajian seputar Al-Qur’an (dirasah ma hawla al-Qur’an), yaitu mengkaji mengenai proses turunnya Al-Qur’an, penghimpunannya, perkembangannya, dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai objek wahyu beserta variasi cara bacanya (qira’ah) serta bagaimana aspek sosial-historis dari Al-Qur’an tersebut. 

Kajian selanjutnya yaitu mengenai Al-Qur’an itu sendiri (dirasah ma fi al-Qur’an) yang meliputi kajian terhadap kosakata dan susunan kata (murakkabat)-nya. Kemudian, kajian terakhir yang harus diperhatikan dalam tafsir sastrawi yaitu mengenai aspek psikologis (al-tafsir al-nafs). Yang menjadi fokus dalam aspek ini adalah rahasia-rahasia (motif) di balik gerakan-gerakan jiwa manusia dalam berbagai ranah dan bidang yang disentuh oleh misi keagamaan Al-Qur’an, dialog doktrineral Al-Qur’an, pengolahan Al-Qur’an terhadap intuisi dan hati, penerimaan Al-Qur’an terhadap masa lalu yang memang dapat diterima jiwa dan diwarisi  secara turun-temurun dari generasi ke generasi (hlm. 30-33).

Berdasar pada tiga kajian utama itulah, dalam buku ini, penulis mencoba menafsirkan ayat-ayat tentang puasa (Al-Baqarah/2: ayat 183-185). Secara sistematis, susunan ayat dari ketiga ayat tersebut sangat menyentuh psikologis para pembacanya. Ayat tentang puasa ini dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman, walau seberat apa pun, untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan yang dimulai dengan panggilan mesra, “wahai orang-orang yang beriman”. 

Selanjutnya, dalam menjelaskan kewajiban melaksanakan ibadah puasa, khususnya puasa Ramadhan kepada hamba-Nya, Allah tidak menyebutkan nama-Nya secara langsung pada ayat 183 tersebut. Menurut Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M. Ag., dalam pengantarnya, ia mengatakan bahwa hal ini mengisyaratkan apa yang akan diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan setiap kelompok, sehingga andaikata bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkannya atas dirinya sendiri (halaman 17). 

Dalam mewajibkan ibadah puasa kepada para hamba-Nya, selain menggunakan panggilan yang mesra, Allah memberikan perumpamaan dengan puasanya “kaum terdahulu”, meski sejatinya rincian cara pelaksanaannya berbeda-beda. Hal ini memberikan kesan bahwasanya ibadah puasa itu dapat atau bahkan ringan untuk dilaksanakan, meski sejatinya ibadah tersebut sangatlah berat untuk dilaksanakan. Kewajiban puasa tersebut dimaksudkan supaya manusia bertakwa, yakni terhindar dari segala sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi.

Bahasa Al-Qur’an memang sangatlah indah, berbeda dengan bahasa manusia pada umumnya. Dalam mewajibkan puasa, di samping menyapa para pembacanya dengan sebutan yang mulia (wahai orang-orang yang beriman), ia menjelaskan terlebih dahulu tentang tujuan dari diwajibkannya puasa tersebut (takwa). Setelah itu, pada ayat selanjutnya (Al-Baqarah: 184), dijelaskan tentang keringanan-keringanan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang terpaksa tidak mampu melaksanakan ibadah puasa pada waktu yang telah Ia tentukan. Dan, baru kemudian, pada ayat 185, Allah menjelaskan tentang berapa lama ibadah puasa itu harus dilaksanakan. Susunan ayat yang demikian sangatlah indah, berbeda dengan susunan bahasa manusia pada umumnya. Sekedar contoh: pada saat suatu lembaga atau komunitas akan mengadakan suatu perlombaan yang berhadiah, kebanyakan dari mereka dalam menginformasikan lomba tersebut pada suatu pamphlet atau brosur, mereka lebih mengutamakan informasi tetang syarat-syarat untuk mengikuti perlombaan tersebut ketimbang besar hadiah yang akan diberikan kepada para pemenangnya. Betul demikian, bukan?

Akhirnya, buku ini layak untuk diapresiasi secara positif, mengingat materi yang disuguhkan dalam buku ini dapat menambah wawasan kita tentang memahami ayat-ayat Al-Qur’an melalui penedekatan sastrawi, walaupun sebenarnya masih ada beberapa hal yang kiranya mesti juga disinggung oleh penulis seperti biografi Amin Al-Khulli sendiri, sehingga para pembaca juga mengetahui profil dari Al-Khulli, karena, pada dasarnya Al-Khulli bukanlah peletak ide dasar metode tafsir sastrawi. Namun, meskipun demikian, peran Al-Khulli dalam pengembangan metode tafsir sastrawi tidaklah bisa dipandang sebelah mata. 

*) Pernah Dimuat di NU Online, 1 September 2014