Jas merah, janganlah sekali-kali melupakan sejarah. Begitulah kata
petuah pemimpin kita terdahulu. Sebagai warga negara yang cinta akan tanah air,
kita dituntut untuk selalu mengenang dan memahami sejarah negara dan bangsa.
Karena sejarah bukan hanya menyangkut urusan masa lampau, melainkan juga erat
terkait dengan masa kini, dan selanjutnya masa depan.
11 Maret 1966 merupakan hari bersejarah bagi
bangsa Indonesia. Dimana pada tanggal tersebut, Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik
Indonesia menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal dengan
Supersemar. Surat ini merupakan perintah untuk mengkondisikan keamanan pada
waktu tersebut.
Surat ini dikatakan juga sebagai surat sakti
yang ditujukan kepada Soeharto, yang waktu itu menjabat sebagai Panglima
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban atau lebih dikenal dengan singkatan
Pangkobkamtib. Perintah yang ada di dalam surat tersebut adalah pemberian
kewenangan kepada Pangkobkamtib untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan
untuk mengamankan kondisi negara pada saat itu.
Supersemar ini ditandatangani oleh Presiden
Republik Indonesia, Ir. Soekarno setelah memperhatikan kondisi keamanan negara
yang semakin memburuk pada suasana revolusi tersebut. Berderet-deret peristiwa
selalu bermunculan bak jamur yang tumbuh subur di musim penghujan. Diawali
dengan tewasnya 5 Jenderal TNI-AD ditangan sesama warga negara Indonesia yang
dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30 S/ PKI). Dan berlanjut
dengan pembantaian massal yang berlangsung antara pekan ketiga bulan Oktober
hingga bulan Desember 1965. Berbagai kekuatan sipil dan militer saling menopang
untuk menghabisi hidup sekian banyak orang tanpa ada proses pengadilan, yang
mengakibatkan banjir darah sekitar setengah juta rakyat Indonesia pada saat
itu.
Ir. Soekarno menilai, dari deretan peristiwa
tersebut dapat melahirkan kondisi yang mengancam keselamatan bangsa dan negara.
Untuk hal tersebut, harus ada sosok yang mengkondisikan keamanan tersebut.
Pengkondisian tersebut bertujuan agar negara terhindar dari kondisi yang buruk.
Meskipun sampai sekarang ini peristiwa
Supersemar masih menjadi misteri yang belum terungkap kebenarannya. Selalu
menjadi topik pembicaraan yang tak ada habis-habisnya. Dan selalu menjadi
wacana klasik bahwa Supersemar yang diterbitkan dan ditandatangani oleh
Presiden Soekarno itu palsu. Tetapi setidaknya kita dapat menganalisa dengan
akal yang sehat, bahwa pada saat itu kondisi sosial-politik negara kita dalam
keadaan kacau balau. Maka surat perintah yang diterbitkan tersebut memang
berusaha mengkondisikan keamanan masyarakat.
Supersemar diterbitkan untuk mengantisipasi
serta menghadapi kondisi negara yang sedang rawan. Kondisi bangsa yang begitu
berbahaya membutuhkan kesigapan dalam mengambil keputusan penanganan. Dan
pemerintah (dalam hal ini Presiden Soekarno) telah mengambil langkah tepat
dengan menerbitkan Supersemar tersebut.
Keadaan Indonesia Saat Ini
Berwarna-warni permasalah yang tengah dihadapi
negara Indonesia saat ini. Mulai dari tindak kejahatan yang dilakukan oleh
masyarak kecil sampai para pejabat negara sekalipun selalu menghantui
terciptanya kesejahteraan di negara ini. Perampokan, penyalahgunaan narkoba, kekerasan
seksual, pembunuhan, praktek korupsi yang semakin merajalela. Dan lebih
ironisnya lagi, para aparat keamanan (TNI-Polri) yang seharusnya mengayomi dan
mengamankan negara, akhir-akhir ini menjadi aktor premanisme.
Beberapa waktu yang lalu, di Sumatera Selatan
(Sumsel) terjadi aksi anarkis yang dilakukan oleh puluhan anggota Bataliyon
Artileri Medan (Armed) terhadap Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Baturaja,
Sumsel. Anggota TNI membakar kantor Mapolres OKU. Peristiwa ini terjadi
lantaran ketidakpuasanya pada kinerja polisi yang lambat dalam mengungkap kasus
penembakan anggota TNI, Pratu Heru karena melanggar lalu lintas di OKU pada
(27/1) lalu.
Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sejak 2005 hingga 2012 telah terjadi 26 kali
bentrok TNI-Polri. Bentrok antara kedua kubu ini seringkali diawali dengan
hal-hal yang sepele, dan tidak sepantasnya masalah tersebut dijadikan alasan pembakar
nafsu amarah di antara keduanya. Dalam hal ini, Kapolri dan Panglima TNI selalu
mengatakan tak ada masalah antara dua institusi ini. Tapi, di akar rumput, di
kalangan serdadu muda yang emosional, masalah sepele bisa memicu bentrok.
Sebagai aparat keamanan negara yang
berpendidikan, seharusnya TNI-Polri dapat menyelesaikan suatu permasalahan
dengan kepala dingin, tanpa dibumbuhi serbuk emosi serta hawa nafsu. Hal ini
dimaksudkan untuk menggapai kinerja yang profesional dalam memecahkan
permasalahan. Bukan malah sebaliknya, menyelesaikan masalah dengan cara
“goblok” yang hanya melahirkan masalah baru tanpa menyelesaikan masalah yang
tengah dihadapai. Hal ini hanya menambah catatan hitam bagi aparat keamanan
negara serta dapat menimbulkan terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap
TNI-Kapolri dalam menjaga keamanan negara. Jadi, jangan heran kalau masyarakat
selalu melihat sebelah mata kinerja mereka dalam menyelesaikan suatu perkara.
Pelajaran dari Supersemar
“Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah
dengan panglima-panglima angkatan-angkatan lain secara baik”. Inilah salah satu
job diskripsi yang tertuang dalam Supersemar yang dimandatkan kepada Soeharto
untuk menstabilkan keadaan negara saat itu.
Berdasarkan job diskripsi ini, dapat kita
ketahui bahwa Presiden memerintahkan kepada Jenderal Soeharto untuk melakukan
koordinasi dengan angkatan lainnya agar pelaksanaan tugas lebih efektif.
Koordinasi dengan angkatan lainnya burtujuan agar tercipta kerja yang sinergis
di antara sekian banyak elemen keamanan, pengaman negara.
Sekiranya, TNI-Polri sekarang ini patut
memetik pelajaran dari peristiwa Supersemar tersebut. Dengan adanya koordinasi atau
komunikasi yang baik diantara TNI-Polri, dan selalu berusaha mewujudkan
integritas diantara keduanya. Untuk mewujudkan tujuan yang sama yaitu, menjaga
keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Maka, semua kejahatan yang ada di
Indonesia ini lambat-laun akan berkurang, atau bahkan hilang. Semoga!